Langsung ke konten utama

Unggulan

Surat Doa: Ya Allah, Jangan Biarkan Aku Hilang Arah

 Ya Allah… Di hari-hari yang terasa hampa ini, aku datang kepada-Mu dengan hati yang gemetar. Aku tidak tahu harus berbuat apa, tidak tahu harus mulai dari mana. Aku merasa kosong, kehilangan semangat, kehilangan arah — dan di antara semua kehilangan itu, aku paling takut kehilangan diri dan kepercayaanku pada-Mu. Ya Allah, aku tahu Engkau Maha Melihat. Engkau tahu betapa lemahnya aku sekarang, betapa sulitnya aku untuk bangun, untuk berpikir jernih, untuk melangkah lagi. Terkadang aku merasa seperti beban bagi dunia, seperti tidak ada yang membutuhkan kehadiranku. Tapi jauh di lubuk hatiku, aku tahu — Engkau tidak pernah menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Dan itu termasuk aku. Maka Ya Rabb, tolonglah aku yang sedang kehilangan cahaya ini. Bimbing aku untuk kembali mengenal-Mu dengan lembut, agar hatiku tenang dan pikiranku kuat kembali. Jangan biarkan rasa takutku membuatku berhenti berjuang. Jangan biarkan rasa malas menutupi niat baik yang masih ada di hatiku. ...

Aku, Si Anak Durhaka

Hai ini adalah aku, si anak durhaka.

Adakah yang lebih buruk dariku sebagai seorang anak dan manusia? Pertanyaan yang senantiasa menghantuiku. 

Mungkin seseorang di masa laluku benar, aku minim empati. Tapi percayalah, aku menyesal setelah menyadarinya. Penyesalan itu selalu menghantui pikiranku, berbisik: “Pantas saja kau gagal. Perangaimu jelek, membuat Allah murka!” “Percuma mengangkat tangan di sepertiga malam atau dhuha — doamu terhalang dosamu!” Rasa sesal itu menyiksa jiwa, menyuruhku berhenti, lari, menghilang — padahal aku tak tahu bagaimana caranya. Aku sudah merasa tak berguna; kini seolah jadi benalu. Masih adakah yang bisa memaklumi kesalahanku? Aku tidak ingin begini. Perasaan ini lebih sakit daripada siksaan fisik; lebih baik seseorang menghukumku asalkan aku kembali menjadi manusia normal, menjadi anak yang diharapkan orangtuaku, tanpa dihantui rasa bersalah dan ketakutan.

Aku malu mengakuinya: aku sangat membenci ayahku. Bukankah itu dosa besar? Anak mana yang membenci orang tuanya kalau bukan dinamakan anak durhaka. Aku tak ingin membela diri, tapi bukankah manusia sering melakukan apa yang dianggapnya benar? Karena itu, kali ini aku akan ikuti egoku — kuungkapkan sejujur-jujurnya tentang perasaanku, lukaku, kebencianku. Tolong izinkan aku tak menutupi kebusukan ini dalam tulisan. Bukankah salah satu alasan menulis jadi obat adalah kejujuran?

Aku tidak tahu kapan mulanya perasaan ini muncul. Ayah bukan orang jahat. Dia tokoh masyarakat, sosok yang disegani — setiap orang datang padanya mencari solusi. Aku kagum pada kepiawaiannya berpikir; aku bersyukur sosok itu adalah ayahku. Dia yang mengajarkanku tauhid, menjadi jembatanku mencintai agama, mencintai Tuhan, mencintai Al-Qur’an. Dia menanamkan dasar spiritual pada jiwaku, mengajarkan makna hidup, mengenalkan cara berpikir terbuka. Namun di balik semua itu, ada yang ia lupakan: aku tak bisa merasakan kehangatannya. Ya, dia mungkin memang sosok luar biasa sebagai guru spiritual, sebagai konselor, sebagai tokoh masyarakat, atau sebagai partner diskusi sejawatnya, tapi tidak sebagai ayah. Aku tak punya kedekatan yang seharusnya ada antara orang tua dan anak, aku tidak berani bahkan untuk mengatakan sebait kalimat tanpa gemetar atau dengan intonasi yang pas, aku tidak berani bahkan untuk menatap matanya. Entah segan, entah malu, entah takut— semua perasaan itu sulit kujelaskan, yang jelas aku tak berani.

Aneh, bukan? Aku lebih berani berdiskusi atau curhat dengan guruku atau orang asing; aku lebih mudah dekat dengan orang lain daripada dengan ayahku. Semua orang juga beranggapan demikian.

Namun bukan ini inti masalah. Aku sebenarnya tidak masalah jika sekadar tak punya kedekatan dengan ayah—aku bisa hidup normal tanpa itu, kupikir ibu sudah lebih dari cukup. Sialnya, rasa asing itu berubah jadi benci ketika ayah mulai memerintah dengan membentak. Ia mengeluhkan banyak hal: aku tak dewasa, hanya diam, malas, kekanak-kanakan, jorok, tak disiplin, memalukan karena menutup diri dan menghidar saat kumpul keluarga besar. Dia mengatakan semua hal yang membuatku merasa seperti beban juga manusia paling tidak berguna, beban yang membuat kepalanya sakit. Semua itu terus berulang, dan lebih parah setelah kepergian nenek. Hembusan napasnya yang berat, lontaran keluh, nada tinggi tiap perintah, amarahnya pada mama, sikap otoriternya — semuanya membuatku melihatnya sebagai sosok menakutkan, raja tiran yang harus kuhindari agar warasku tetap utuh.

Semua itu membuaatku menghindar setiap kali mendengar derap langkahnya. Aku sembunyi di setiap ruang kecil (entah itu di lemari atau di bawah tempat tidur) ketika suaranya meninggi. Aku selalu memasang wajah masamku ketika berhadapan dengannya meskipun tidak sengaja. Aku mengabaikan ocehannya, melengos saat dipanggil, tak menjawab pertanyaannya, menanggapi datar leluconnya, tak tersenyum saat ia mencoba ramah. Aku mendengus kasar ketika amarahnya muncul. Aku berjalan gusar melewatinya. Kadang kulontarkan kata-kata kasar di dalam bisik, menggunjingkan intonasi yang menyinggung. Aku tak bisa mengatakan kalimat panjang kepadanya, paling hanya beberapa kata yang bisa dihitung jari. Dihadapannya aku tidak lebih seperti robot jadul yang membacakan kalimat dengan intonasi yang datar, bahkan mungkin lebih buruk dari robot karena lebih terbatasnya kalimat yang keluar dari mulutku. Bukankah aku kurang ajar? anak durhaka yang tak bermoral. Ya, itu aku. Aku memang pantas dihukum. Tapi percayalah, aku menyesal setelahnya, sangat. Penyesalan yang membuatku membenci diriku sendiri.

Kenapa aku melakukannya padahal tahu salah? Aku tak tahu. Semua terasa seperti otomatis; tubuhku aktifkan mekanisme menghindar saat nada tinggi terdengar. Seolah ada alarm di kepala yang berkata: aktifkan tameng. Emosi mengambil alih, kemudian setelah reda datang penyesalan. Fase itu terus berulang, menumpuk; mungkin tanpa kusadari membentuk citra diriku: orang aneh, tak berempati, tak bersosial, tak punya teman — menyedihkan dan memalukan.

Kalian juga boleh menilaiku seperti itu, karena itu memang fakta. Aku tidak menyukai manusia, karena itu manusia lain juga boleh untuk tidak menyukaiku.

Lalu apakah aku marah pada ayahku? Ya, tentu. Namun dibalik semua itu aku juga melihat kepedihan dan luka pada dirinya, di setiap amarahnya ada ketidakberdayaan yang ia sembunyikan, ada kesakitan tak terlihat, ada jiwa yang terkoyak, kebingungan yang tak bisa ia hindari. Ya, aku melihatnya, bagaimana beban itu memang ia tanggung sendirian tanpa ada yang bisa memahaminya, beban yang terus menghimpitnya di ruang kosong bernama kehidupan, dan penderitaan itu, secara tidak sengaja ia lampiaskan pada kami yang juga berdiri tanpa tameng pelindung. 

Di balik sikap ringkihnya kulihat ketidaksiapan. Aku bisa merasakan bagaimana dia, yang kusegani, berdiri tak percaya diri di hadapan orang lain; ia yang sering berbicara nyaring di rumah, justru diteriaki hinaan di luar sana. Menyedihkan melihat tubuh kurus dan keriputnya memegang sapu membersihkan halaman madrasah sementara yang lain duduk di kursi rapat. Menyedihkan melihatnya selalu memohon pertolongan namun hanya mendapat anggukan semu dan pandangan merendahkan. Menyedihkan melihatnya membawa sisa makanan dari pertemuan, lalu dengan bahagia memberikannya pada kami yang kelaparan—di balik senyum getir itu ada bahagia sekaligus rasa bersalah. Menyedihkan melihat bagaimana ia mendorong sepeda motor butut nya ketika yang lain melaju dengan mobil yang bergerak lincah. Menyedihkan bagaimana suaranya tak didengar seolah angin lalu. 

Ya, aku merasa kasihan, sangat kasihan

Aku tahu ia orang baik, terkurung dalam keterbatasan dan kelemahan. Ia ingin memberi matahari untuk keluarga, namun yang mampu ia beri hanya sorot senter redup. Ia ingin terlihat kuat, tapi jiwa tak bisa berbohong.

(bersambung…)




Komentar

Postingan Populer