Langsung ke konten utama

Unggulan

Surat Doa: Ya Allah, Jangan Biarkan Aku Hilang Arah

 Ya Allah… Di hari-hari yang terasa hampa ini, aku datang kepada-Mu dengan hati yang gemetar. Aku tidak tahu harus berbuat apa, tidak tahu harus mulai dari mana. Aku merasa kosong, kehilangan semangat, kehilangan arah — dan di antara semua kehilangan itu, aku paling takut kehilangan diri dan kepercayaanku pada-Mu. Ya Allah, aku tahu Engkau Maha Melihat. Engkau tahu betapa lemahnya aku sekarang, betapa sulitnya aku untuk bangun, untuk berpikir jernih, untuk melangkah lagi. Terkadang aku merasa seperti beban bagi dunia, seperti tidak ada yang membutuhkan kehadiranku. Tapi jauh di lubuk hatiku, aku tahu — Engkau tidak pernah menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Dan itu termasuk aku. Maka Ya Rabb, tolonglah aku yang sedang kehilangan cahaya ini. Bimbing aku untuk kembali mengenal-Mu dengan lembut, agar hatiku tenang dan pikiranku kuat kembali. Jangan biarkan rasa takutku membuatku berhenti berjuang. Jangan biarkan rasa malas menutupi niat baik yang masih ada di hatiku. ...

Jejak Doa di Atas Rumput Hijau



Langit pagi itu berlapis awan tipis
, seolah sengaja meredupkan sinar matahari agar tidak terlalu menyilaukan ribuan toga hitam yang berjejer di halaman kampus. Riuh tepuk tangan, sorakan bahagia, juga lantunan musik mengiringi wisuda, berpadu menjadi orkestra kegembiraan yang tak ada duanya.

Aku duduk di kursi barisan tengah, tangan meremas toga yang menutupi lututku. Jantungku berdetak cepat—bukan hanya karena namaku sebentar lagi akan dipanggil, tapi karena aku tahu, di luar sana ada seseorang yang sedang bergegas, menembus jalanan demi melihatku berdiri di podium: Ibuku.

Sudah lama aku membayangkan momen ini. Aku di atas panggung, tersenyum bangga, lalu menoleh ke kursi undangan dan menemukan sorot matanya. Sorot yang dulu menemaniku belajar di bawah lampu redup. Sorot yang dulu tetap teduh meski tubuhnya letih menjajakan gorengan dari gang ke gang. Aku ingin berkata lantang: “Itulah Ibuku! Perempuan terhebat yang membuatku sampai di titik ini.”

Namun takdir seringkali datang tidak dengan langkah lembut, melainkan bagai badai yang tiba-tiba menghantam. Saat namaku dipanggil dan aku berdiri, ponsel di saku togaku bergetar. Nomor asing. Aku menepi, menjauh dari kerumunan yang masih bersorak. Suara di seberang bergetar, terbata, dan dalam hitungan detik dunia yang kukenal runtuh tanpa sisa.

“Ibu… kecelakaan… dan beliau tidak tertolong.”

Tubuhku ambruk. Tangan-tangan teman mencoba menopang, tapi telingaku berdengung, penglihatanku kabur. Suara musik, sorakan, tepuk tangan—semuanya menjauh. Yang tersisa hanya satu: hampa.


Beberapa hari setelahnya.

Hujan baru saja reda ketika aku tiba di pemakaman. Aroma tanah basah menusuk hidung. Rumput liar masih basah oleh embun, sementara batu nisan berwarna hitam itu berdiri membisu, menyimpan nama yang paling kucinta: Fatimah Azzahra.

Aku berjongkok perlahan, tanganku bergetar ketika menyentuh permukaan marmer yang dingin. Seperti menyentuh kulit Ibu, hanya saja tanpa hangat, tanpa denyut. Sebuket bunga lili putih kupeluk erat di dada, bunga kesukaan beliau. Air mata jatuh begitu saja, membasahi pipi tanpa bisa kuhentikan.

“Ibu…” suaraku pecah, hanya terdengar lirih di antara desir angin sore. “Qia sudah lulus, Bu. Tapi kenapa… kenapa Ibu tidak ada di sini untuk melihatnya?

Aku menunduk semakin dekat ke tanah, dan tiba-tiba kenangan datang begitu deras. Kenangan yang dulu sering kuanggap biasa, kini terasa begitu berharga.

Aku masih ingat jelas ketika kecil, saat hujan deras mengguyur atap rumah kami yang bocor. Ibu berlari ke dapur mengambil baskom plastik, lalu menaruhnya di bawah tetesan air. “Sabar ya, Nak,” katanya sambil tersenyum, “nanti kalau kamu jadi orang sukses, kita ganti atap ini biar nggak bocor lagi.”

Aku hanya mengangguk waktu itu, belum paham arti kata “sukses.” Tapi aku selalu mengingat wajahnya—basah oleh keringat, tangannya kotor oleh minyak gorengan, namun matanya selalu berbinar saat menatapku.

Di sekolah dasar, aku pernah menangis karena tidak punya pensil baru. Ibu menenangkanku dengan lembut, lalu besok paginya ia memberiku sebuah pensil yang sudah ia raut dengan hati-hati. Belakangan aku tahu, ia menukar beberapa gorengan dengan pensil itu di warung dekat rumah. Aku belajar sejak saat itu: cinta seorang ibu tak selalu hadir dalam bentuk besar, kadang hanya sesederhana sebuah pensil.

Ketika aku mulai beranjak remaja, Ibu menjadi pendengar paling sabar. Aku sering pulang dengan wajah cemberut, kesal pada teman atau guru. Ia hanya duduk, mendengarkan keluh kesahku sampai selesai, lalu menepuk bahuku sambil berkata, “Nggak apa-apa jatuh, Nak. Yang penting kamu tahu caranya bangun lagi.” Kata-kata itu menempel di kepalaku, menjadi semacam mantra ketika aku merasa kalah oleh dunia.

Hari perpisahan SMA adalah momen yang tak pernah kulupa. Semua orang tua datang dengan pakaian terbaik mereka, membawa kamera, bunga, atau kado. Ibu datang dengan kebaya sederhana, rambutnya digelung seadanya. Di tangannya hanya ada sebungkus gorengan yang baru digoreng. “Maaf ya, Nak, Ibu nggak bisa beliin bunga. Tapi gorengan ini masih hangat, biar kamu kuat.”

Aku tertawa waktu itu, tapi juga menahan haru. Semua teman menatap aneh, tapi aku tidak peduli. Karena bagiku, gorengan hangat dari tangan Ibu lebih indah daripada seribu mawar.

Waktu berlalu, dan aku pergi merantau untuk kuliah. Hari itu, Ibu menemaniku ke terminal bus. Tangannya tak pernah lepas dari tasku, seolah takut aku hilang di tengah keramaian. “Jangan lupa makan, jangan lupa shalat, jangan terlalu sering begadang. Kalau kangen rumah, telepon Ibu.”

Aku mengangguk sambil menahan tangis. Bus mulai melaju, dan dari jendela aku melihatnya melambaikan tangan, semakin lama semakin kecil, hingga akhirnya hilang ditelan jarak.

Di kota perantauan, aku sering jatuh bangun. Uang beasiswa pas-pasan, tugas menumpuk, dan pekerjaan sambilan menguras tenaga. Tapi setiap kali aku merasa lelah, suara Ibu di telepon menjadi obat.

“Bu, Qia capek banget…” kataku suatu malam.
“Sabar, Nak. Hidup memang capek. Tapi kalau kamu capek di jalan yang benar, Allah akan ganti dengan bahagia.”

Itulah Ibu. Ia tak pernah memberi banyak teori, hanya kalimat sederhana yang selalu menenangkan.

Hari wisuda tiba. Langit pagi itu berlapis awan tipis, seolah sengaja meredupkan sinar matahari agar tidak terlalu menyilaukan ribuan toga hitam yang berjejer di halaman kampus. Riuh tepuk tangan, sorakan bahagia, juga lantunan musik mengiringi wisuda, berpadu menjadi orkestra kegembiraan yang tak ada duanya.

Aku duduk di kursi barisan tengah, tangan meremas toga yang menutupi lututku. Jantungku berdetak cepat—bukan hanya karena namaku sebentar lagi akan dipanggil, tapi karena aku tahu, di luar sana ada seseorang yang sedang bergegas, menembus jalanan demi melihatku berdiri di podium: Ibuku.

Aku sudah lama membayangkan momen ini. Aku di atas panggung, tersenyum bangga, lalu menoleh ke kursi undangan dan menemukan sorot matanya. Sorot yang dulu menemaniku belajar di bawah lampu redup. Sorot yang dulu tetap teduh meski tubuhnya letih menjajakan gorengan dari gang ke gang. Aku ingin berkata lantang: “Itulah Ibuku! Perempuan terhebat yang membuatku sampai di titik ini.”

Ketika namaku dipanggil, aku berjalan ke podium. Tepuk tangan menggema, kamera berkilatan. Tapi tepat saat aku menunduk menerima ijazah, ponsel di saku togaku bergetar. Nomor asing. Aku menepi setelah turun panggung, menjawab dengan setengah berbisik.

“Apakah ini keluarganya Qian?” suara seorang pria di seberang.
“Iya, betul. Ada apa, Pak?”
“Maaf… Ibu Anda mengalami kecelakaan. Beliau tidak tertolong.”

Dunia berhenti. Suara musik, tepuk tangan, sorakan—semuanya lenyap. Tubuhku lemas, ijazah hampir terjatuh dari tanganku. Aku ingin berteriak, tapi suara tercekat di tenggorokan. Rasanya seperti ditarik ke dalam lubang gelap yang tak berdasar.

Dan kini, aku berdiri di sini, di hadapan nisan yang sunyi.

Air mataku kembali pecah. “Bu… aku berhasil. Aku lulus, seperti yang Ibu inginkan. Tapi kenapa Ibu pergi sebelum sempat melihatnya? Kenapa kebahagiaan kita harus dicuri begitu saja?”

Aku menunduk, mencium nisan itu, merasakan asin air mataku sendiri. Lalu kenangan lain datang: suara Ibu berdoa setiap malam, menyebut namaku dalam setiap sujudnya. “Ya Allah, lindungi anakku di rantau. Jadikan dia orang yang bermanfaat.”

Aku sadar, mungkin itulah alasan mengapa aku bisa berdiri di sini. Semua karena doa yang tak pernah putus.


Sore semakin larut. Senja melukis langit dengan warna oranye pucat. Dari kejauhan, aku mendengar suara langkah mendekat. Rafif, tunanganku, berdiri di samping dengan tatapan lembut. “Qia…” katanya pelan.

Aku mengangguk, mencoba tersenyum meski air mata belum berhenti. “Aku harus kuat, Rif. Aku janji, semua yang kulakukan setelah ini akan jadi doa untuk Ibu. Setiap keberhasilan, setiap langkah, semuanya akan kuserahkan untuknya.”

Aku meletakkan bunga lili putih terakhir di atas tanah. Angin sore berembus, seolah membawa pesan: Ibu tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berpindah, dari dunia yang fana ke pangkuan Allah yang kekal.

Aku berdiri, menatap nisan untuk terakhir kali sore itu. Hatiku masih luka, tapi di balik luka itu ada cahaya kecil: keyakinan bahwa cinta seorang Ibu tidak pernah mati. Ia hidup dalam doa, dalam ingatan, dalam setiap langkahku.

Aku berjalan menjauh dengan langkah berat. Tapi kali ini, ada janji yang kupegang erat: aku akan hidup dengan membawa namanya, menggapai mimpi yang dulu kami rajut bersama, dan suatu hari, ketika waktuku tiba, aku ingin bertemu dengannya lagi—dengan senyum yang sama, di tempat yang lebih indah dari dunia mana pun.


Created By: Nisa Nurmillah


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer