Ketika Otak Terasa Menurun: Stuck, Bosan, dan Terjebak Dalam Lingkaran Overthinking
Pernah merasa stuck, bosan, dan seolah kemampuan otak mulai menurun?
Aku pernah. Bahkan sekarang, aku masih mengalaminya.
Beberapa waktu lalu, atasan—yang sebenarnya cukup baik, perhatian, dan sering memberiku ruang untuk berkembang—memintaku menyiapkan presentasi training untuk salah satu fitur pengembangan dari sistem yang sudah ada. Kalau didengar sekilas, itu tugas yang ringan. Banyak orang mungkin akan menganggapnya kesempatan emas untuk belajar hal baru atau menunjukkan kemampuan diri.
Tapi untuk seseorang sepertiku, yang cenderung introvert, butuh struktur jelas, dan mudah kewalahan oleh ketidakpastian, tugas itu justru berubah menjadi beban mental yang cukup berat. Bukan karena presentasinya sulit, bukan karena materinya rumit, tapi karena aku tidak punya pegangan yang jelas.
Masalahnya bukan pada tugasnya.
Masalahnya pada reaksiku—dan aku baru menyadarinya belakangan.
Ketika tugas itu diberikan, bukannya aku langsung merancang langkah-langkah yang harus dilakukan atau membuka sistem untuk mempelajari alurnya, pikiranku justru nge-freeze. Ada sensasi seperti “blank” dan rasa malas yang muncul tiba-tiba. Rasanya seperti otakku menolak bergerak.
Dan alih-alih mencoba memulai, aku malah kabur ke hal-hal cepat yang memberikan rasa nyaman:
scroll TikTok dan Instagram berjam-jam tanpa arah.
Mengulur waktu, seolah ada sesuatu yang bisa kutunggu sampai aku “siap”.
Padahal aku tahu, aku sedang membuang waktu berharga.
Dan kesadaran itu justru memperburuk stresku. Sangat buruk!
Ironis? Iya.
Menyedihkan? Sedikit.
Tapi pada akhirnya, itu sangat manusiawi.
Masalah Dimulai dari Ketidakjelasan
Aplikasi yang harus kupresentasikan bukan aku yang membuat atau mengembangkannya. Aku bahkan tidak termasuk dalam tim itu sejak awal. Aku hanya ikut karena rasa simpati atasan yang ingin aku punya pengalaman lebih banyak dan “dilibatkan” agar aku tidak tertinggal dari perkembangan tim.
Meski niatnya baik, realitasnya berbeda: aku masuk di tengah-tengah proses yang sudah berjalan lama.
Banyak konteks hilang.
Banyak perubahan yang tidak kucatat.
Banyak bagian yang kupahami setengah-setengah.
Tugasku sebenarnya sederhana: menyusun dokumen teknis.
Itu pun masih dibantu AI untuk merapikan struktur kalimat.
Tapi hal yang seharusnya sederhana itu berubah menjadi sangat melelahkan karena satu hal kecil:
Semuanya berubah terus.
Flow-nya berubah.
Halaman yang sebelumnya digunakan tiba-tiba tidak dipakai lagi.
Proses yang tempo hari diajarkan padaku kini diganti dengan proses baru.
Fitur tertentu yang menurutku belum selesai malah dianggap “sudah rampung”.
Dan setiap kali ada perubahan sekecil apa pun, aku harus merombak dokumenku.
Menghapus bagian lama, menulis ulang bagian baru, lalu menghubungkan ulang semuanya.
Mungkin untuk orang lain ini hal sepele.
Tapi bagiku, setiap perubahan itu seperti mengulang dari nol.
Sederhana, tapi menghabiskan banyak energi.
Dan di situ, perlahan-lahan rasa malas, jengkel, dan frustrasi mulai muncul.
Ada momen-momen ketika aku bertanya dalam hati:
Untuk apa aku menyusun ini kalau besok bisa berubah lagi?
Pertanyaan itu saja sudah cukup untuk mematikan motivasi.
Presentasi: Antara Peluang dan Tekanan
Di atas semua itu, aku juga harus menyiapkan presentasi training untuk sistem ini.
Dalam konteks profesional, ini harusnya kesempatan bagus. Aku tahu itu.
Tapi anehnya, aku lebih sering merasa takut daripada bersemangat.
Kenapa?
Karena aku sendiri tidak benar-benar memahami alur sistem yang harus kupresentasikan.
Aku hanya diberi gambaran singkat, tidak mendalam, dan jujur saja—aku terlalu gugup untuk menanyakan lebih detail.
Ketika ditanya, “Ada yang mau kamu tanyakan?”
Aku menjawab, “Tidak.”
Bukan karena aku mengerti.
Tapi karena aku bahkan tidak tahu apa yang seharusnya kutanyakan.
Dan sekarang, ketika sudah masuk fase mempersiapkan, aku dihadapkan pada error, alur yang tidak sesuai, dan fitur yang tidak berjalan seperti seharusnya. Di titik ini, aku merasa seperti seseorang yang diminta menjelaskan peta kota... padahal aku bahkan tidak tahu di mana posisi awalku berdiri.
Aku benar-benar bingung.
Dan sejujurnya, merasa cukup tertekan.
Apa yang harus kujelaskan kepada orang lain kalau aku sendiri tidak yakin?
Bagaimana aku bisa melatih orang lain menggunakan sistem yang alurnya berubah-ubah?
Bagaimana aku harus memulai, ketika pondasi awal saja tidak jelas?
Apa yang Sebenarnya Terjadi? (Riset Ilmiah & Psikologis)
Setelah mencoba memahami apa yang terjadi pada diriku, aku akhirnya menyadari bahwa kondisi ini bukan cuma “malas” atau “bodoh” seperti yang sering kusalahpahami. Banyak penelitian psikologi menunjukkan bahwa apa yang kualami sebenarnya sangat umum — hanya saja jarang dibicarakan.
Berikut beberapa konsep ilmiah yang menjelaskan fenomena seperti yang kualami:
1. Executive Dysfunction — Otak Tidak Macet Karena Bodoh, Tapi Karena Kelelahan
Dalam neuropsikologi, fungsi eksekutif adalah kemampuan otak untuk:
-
merencanakan
-
memulai tindakan
-
memprioritaskan
-
mengendalikan impuls
-
menyelesaikan tugas yang tidak pasti
Ketika kita mengalami stres, overload informasi, atau kondisi mental yang tidak stabil, bagian otak yang mengatur fungsi ini — terutama prefrontal cortex — menjadi kurang aktif.
Efeknya?
-
sulit memulai tugas
-
sulit fokus
-
mudah terdistraksi
-
memilih aktivitas instan (scroll TikTok)
Ini bukan kemalasan.
Ini disfungsi eksekutif yang dipicu stres.
Sebuah studi dalam Journal of Neuroscience menjelaskan bahwa stres kronis membuat otak beralih dari “mode berpikir rasional” ke “mode bertahan hidup”. Itulah kenapa kita freeze, bukan bergerak.
2. Cognitive Overload — Ketika Terlalu Banyak Informasi, Otak Melakukan Shutdown
Penelitian oleh Sweller (1988), yang sangat terkenal di bidang pendidikan dan kognitif, menjelaskan bahwa otak punya batas kapasitas memproses informasi. Ketika suatu tugas:
-
tidak jelas
-
sering berubah
-
tidak punya struktur
-
memerlukan adaptasi terus-menerus
maka otak mengalami cognitive overload.
Dan apa respon alami dari overload?
Shutdown. Freeze. Ngelamun. Kabur ke dopamine cepat.
Scroll media sosial berjam-jam itu bukan pilihan malas.
Itu respon otomatis otak mencari “jalan keluar” — walau jalan keluar itu tidak sehat.
3. Intolerance of Uncertainty — Ketidakpastian adalah Pemicu Stres Terbesar
Menurut penelitian di Journal of Anxiety Disorders, orang dengan kebutuhan struktur tinggi (yang suka tahapan jelas, arahan jelas, timeline stabil) sangat rentan terhadap stres ketika menghadapi situasi yang tidak pasti.
Dan situasi kerjaku persis begitu:
-
flow sistem berubah-ubah
-
fitur belum final
-
dokumen harus disesuaikan terus
-
tidak ada pegangan pasti
-
harus dipresentasikan padahal belum matang
Tidak heran otakku memberontak.
Karena ketidakpastian adalah musuh alami tipe otak seperti ini.
4. The Introvert Drain: Interaksi + Ketidakjelasan = Energi Terkuras Ganda
Menurut buku Quiet karya Susan Cain, introvert cenderung:
-
butuh waktu mencerna informasi
-
menolak kondisi yang amburadul
-
memproses sesuatu secara mendalam
-
lebih sensitif terhadap tuntutan sosial
-
mudah lelah saat harus tampil di depan umum
Dalam kasusku:
-
aku harus mempelajari sistem
-
mempersiapkan materi presentasi
-
menjelaskan ke orang lain
-
menghadapi kemungkinan pertanyaan
Semua ini menguras energi mental yang lebih besar dibanding orang yang lebih ekstrovert atau terbiasa improvisasi.
Ketika energi terkuras, otak berhenti bekerja optimal.
Dan itulah yang terjadi padaku.
5. The Dopamine Escape — Kenapa TikTok Sangat Mudah Menang
Menurut riset Harvard Medical School, media sosial dirancang memberikan “dopamine hit” cepat melalui:
-
video pendek
-
konten lucu
-
informasi cepat
-
kejutan kecil yang memuaskan
Ketika otak penuh tekanan, ia lebih memilih:
✔ hal instan
✔ hal mudah
✔ hal yang tidak menuntut pikiran
✔ reward cepat
Itulah kenapa:
-
tugas yang rumit → terasa menyiksa
-
TikTok 2 jam → terasa ringan
Ini murni mekanisme kimia otak, bukan kegagalan moral.
Jadi, Kesimpulannya?
Yang terjadi pada diriku adalah kombinasi dari:
-
stres karena ketidakjelasan sistem
-
tuntutan untuk tampil profesional
-
rasa bertanggung jawab yang bercampur bingung
-
perfeksionisme tersembunyi
-
terlalu banyak perubahan yang membuat otak overload
-
tipe kepribadian introvert yang sensitif terhadap tekanan sosial
-
pelarian alami otak ke dopamine cepat
Kalau ini digabung, hasilnya jelas:
freeze, stuck, dan merasa seolah “otak menurun.”
Akhirnya Aku Menyadari…
Masalah terbesarku bukan tugasnya.
Masalahnya adalah:
-
aku bekerja di tengah ketidakpastian yang tidak cocok dengan cara kerja otakku,
-
aku masuk di tengah-tengah proyek yang sudah berjalan lama,
-
aku kurang informasi tapi juga terlalu bingung untuk tahu harus tanya apa,
-
aku merasa terpojok antara tuntutan kerja dan kebutuhan struktur.
Dan yang paling pahit:
aku merasa tidak cukup “berwawasan” untuk memecahkan semuanya.
Padahal mungkin aku hanya sedang lelah.
Bukan bodoh.
Bukan menurun.
Hanya… kewalahan.
Apakah Aku Sedang Mencari Alasan?
Dan dari semua kebingungan itu, muncul satu hal yang paling sulit kujelaskan: rasa bersalah yang tidak masuk akal.
Entah kenapa, setiap kali aku mencoba memahami diriku sendiri—entah lewat riset, baca artikel psikologi, atau sekadar bertanya “kenapa sih aku jadi begini?”—justru muncul suara kecil di kepalaku:
“Kamu nyari alasan aja.”
“Kamu cuma pembenaran diri.”
“Kamu malas tapi pengen keliatan sibuk.”
Dan ternyata perasaan ini sangat umum terjadi pada orang yang sensitif, perfeksionis, atau punya sense of responsibility yang tinggi.
Mari kita kupas pelan-pelan kenapa kita merasa begitu.
1. Karena otakmu dibesarkan untuk “bertanggung jawab”, bukan untuk “memahami diri”
Kita diajari dari kecil bahwa:
-
kalau salah → harus merasa bersalah
-
kalau tidak produktif → itu salahmu
-
kalau tidak kuat → kurang usaha
Jadi ketika kamu mencoba memahami dirimu lewat riset psikologi, otak lamamu langsung berkata:
"Kok kamu cari alasan sih?
Harusnya kamu kuat dong.
Harusnya kamu nggak gini dong."
Padahal kamu bukan sedang mencari pembenaran,
kamu sedang mencari penjelasan.
Tapi otakmu belum bisa membedakannya — karena program bawaannya adalah menyalahkan diri dulu.
2. Karena kamu takut terlihat “mencari alasan”
Orang yang malas beneran nggak akan capek-capek riset begini.
Orang yang tidak peduli tidak akan gelisah.
Orang yang tidak bertanggung jawab tidak akan merasa bersalah.
Justru fakta bahwa kamu:
-
riset fenomena psikologis
-
bertanya “kenapa sih aku begini?”
-
takut dianggap mencari alasan
-
merasa bersalah
-
stres memikirkan perilakumu sendiri
…itu bukti bahwa kamu bukan pemalas yang nyari alasan.
Kamu orang yang ingin benar, tapi tersangkut.
3. Karena otakmu bingung membedakan “penjelasan” dan “pembenaran”
Ada dua hal:
✔ Pembenaran = “Aku malas, biarin aja. Aku memang gini.”
✔ Penjelasan = “Kenapa ya tubuh dan otakku melakukan ini? Apa mekanismenya? Biar aku tahu cara mengatasinya.”
Dan kamu melakukan yang kedua.
Tapi rasa bersalah membuatmu mengira kamu sedang melakukan yang pertama.
Ini fenomena yang dikenal dalam psikologi sebagai:
Self-Blame Distortion
(terlalu cepat menyalahkan diri sendiri sebelum memproses fakta)
4. Karena kamu punya standar tinggi terhadap diri sendiri
Justru ini akar masalahnya.
Orang dengan standar tinggi biasanya:
-
memaafkan orang lain
-
tapi keras terhadap diri sendiri
-
tidak boleh salah
-
tidak boleh lemah
-
tidak boleh tersendat
-
harus bisa langsung
Ketika kamu freeze, stuck, atau overwhelmed, otakmu langsung panik:
“Kenapa aku begini?! Ini harusnya bisa! Orang lain bisa!”
Padahal kamu sedang kelelahan — bukan gagal.
5. Karena kamu belum biasa memberi dirimu belas kasih diri
Self-compassion adalah kemampuan untuk berkata:
“Aku lagi kesulitan.
Wajar kalau aku capek.
Aku manusia, bukan mesin.”
Buat banyak orang, ini mudah.
Tapi buat orang yang terbiasa menyalahkan diri?
Ini paling susah.
Jadi wajar kalau kamu merasa riset ini seperti “alasan”.
Kamu belum terbiasa melihat dirimu dengan kacamata manusia.
6. Karena kamu ingin berubah — tapi takut dianggap lari dari kenyataan
Inilah bagian paling jujur yang mungkin kamu rasakan:
“Aku mau berubah, aku nggak suka begini.
Tapi aku juga belum sanggup.
Dan aku takut orang bilang aku cuma nyari alasan.”
Itu pergulatan internal antara:
🌑 rasa bersalah
dan
🌕 keinginan memahami diri
Kamu lagi berdiri di tengah.
Itu bukan kelemahan.
Itu fase transisi.
7. Karena memahami diri memang terasa “salah” di masyarakat yang keras
Kita hidup dalam budaya yang bilang:
-
“Lelah? Ya kerja lah.”
-
“Stuck? Ya maksain diri lah.”
-
“Nggak semangat? Ya itu salahmu.”
Jadi ketika kamu justru mencoba mencari penjelasan psikologis,
otakmu yang terlatih oleh budaya itu merasa bersalah.
Komentar
Posting Komentar