Sebenarnya aku ragu menuliskan ini. Bagiku, ini adalah hal paling bodoh yang pernah kulakukan—membiarkan diriku jatuh sepenuhnya pada perasaan yang seharusnya tidak pernah ada. Perasaan yang kupikir akan menyelamatkan, memberi kenyamanan, tapi nyatanya malah menenggelamkanku dalam kekecewaan yang tak jelas ujungnya. Dan bodohnya lagi, sampai sekarang aku belum sepenuhnya bisa melupakan semuanya. Jalanan yang dulu sering kulewati bersamamu, hujan, malam yang sunyi—semuanya masih menarikku kembali pada bayangan itu. Pada perasaan yang seharusnya sudah hilang.
Sampai sekarang, aku bahkan tidak sanggup menyebut namamu. Setiap kali namamu melintas di kepalaku—bahkan hanya sebagai bisikan samar—ada sesuatu di dalam diriku yang kembali runtuh. Seolah-olah harapan yang seharusnya sudah mati itu tiba-tiba hidup lagi, memaksa aku menoleh ke masa lalu yang sudah jelas tidak ingin menoleh kepadaku. Aku benci bagaimana satu nama saja bisa membuatku kembali berharap, kembali membayangkan kemungkinan yang sejak awal tidak pernah benar-benar kamu beri.
Kadang aku ingin bertanya langsung padamu, meski aku tahu jawabannya tak akan pernah datang. Kenapa kamu membiarkanku jatuh begitu dalam padamu, lalu pergi seolah-olah aku tidak pernah berarti apa-apa? Kenapa kamu membiarkan kenyamanan itu tumbuh, membiarkan aku percaya bahwa aku aman bersamamu, padahal kamu sendiri tidak pernah benar-benar tinggal? Ada bagian dalam diriku yang selalu berusaha memaklumi, tapi ada bagian lain yang terus berbisik: kamu tahu apa yang kamu lakukan, dan kamu tetap melakukannya juga.
Yang paling membuatku sulit memaafkan diriku sendiri bukan hanya perlakuanmu… tapi bagaimana aku ikut menyakiti diriku demi kamu. Aku mengabaikan semua nilai, batas, dan moral yang selama ini kupegang hanya untuk memenuhi permintaanmu—permintaan yang jika kuingat sekarang terasa begitu menjijikkan. Aku bahkan rela menurunkan diriku sampai titik terendah hanya demi mendapat sedikit pengakuan darimu, demi angka persentase bodoh itu. Kamu masih ingat, kan? Saat kamu dengan santainya bilang bahwa kamu 60% menyukaiku dan 40% biasa saja setelah sebelumnya mengatakan 40% menyukaiku dan 60% biasa saja. Kamu mengucapkannya seolah perasaanku hanyalah permainan angka yang bisa kamu ubah kapan saja. Dan yang lebih menyakitkan… aku tetap bertahan. Aku tetap bertanya apakah kamu masih menyukaiku, seakan jawabanmu—yang bahkan tidak pernah jelas—adalah napas yang menahan runtuhnya duniaku. Betapa bodohnya aku saat itu, berusaha membuatmu senang, berusaha memenuhi permintaanmu, hanya supaya persentase itu bergerak naik… hanya supaya kamu melihatku sedikit lebih dari “biasa saja”. Betapa kecil dan rendahnya aku membuat diriku sendiri demi seseorang yang bahkan tidak pernah benar-benar menggenggamku.
Meski begitu, semua itu ternyata baru permulaan dari bagaimana aku perlahan kehilangan diriku sendiri. Kamu tahu, kan? Bagaimana aku memberikan semuanya—bahkan hal-hal yang dulu selalu kujaga. Aku menggantungkan kenyamananku padamu sampai aku tak sadar bahwa aku sedang mengikis harga diriku sendiri sedikit demi sedikit. Kamu tahu betapa seringnya aku menghubungimu, bagaimana aku memaksakan diriku untuk tetap ada di sekitarmu, meski kamu berkali-kali menjauh. Betapa memalukan ketika aku ingat bahwa aku bahkan bertanya pada teman-temanmu, pada keluargamu, hanya untuk memastikan kamu baik-baik saja. Seolah-olah hidupmu lebih penting daripada sisa wibawa yang aku punya.
Sejak saat itu, hidupku serasa berhenti berputar di sekelilingmu. Aku menghabiskan hari-hariku dengan menunggu, menebak, dan menahan sesak. Aku selalu mencari namamu di layar ponselku, berharap ada satu pesan kecil yang membuktikan bahwa kamu masih melihatku. Kamu tahu tidak, bagaimana rasanya menjadi pengemis kabar dari seseorang yang bahkan tak ingin menoleh? Aku menghubungimu berkali-kali, lagi dan lagi, sampai aku sendiri muak membaca panjangnya pesanku yang tak pernah kau balas. Aku mencari tahu kabarmu dari siapa pun yang mungkin tahu keberadaanmu—padahal kamu juga tahu betapa tertutup dan pemalunya aku. Tapi untukmu? Aku merobek semua itu. Aku mengabaikan rasa malu, logika, bahkan harga diriku sendiri, hanya untuk memastikan kamu baik-baik saja… atau mungkin hanya untuk memastikan masih ada sedikit saja tempat untukku dalam hidupmu.
Dan yang lebih menyedihkan adalah bagaimana aku menyembunyikan jejak dari semua itu. Menghapus semua umpatanmu. Menghapus percakapan kita yang jelas-jelas menunjukkan betapa menyedihkannya diriku—sang pengemis rasa, perhatian, cinta. Semua itu kuhapus agar aku bisa menipu diriku sendiri bahwa mungkin… mungkin kamu masih peduli. Masih menyayangiku. Masih memikirkanku.
Dan sekarang aku menyesalinya. Seharusnya aku menyimpan itu semua sebagai bukti—agar aku bisa dengan mudah membencimu, melupakanmu, dan agar aku berhenti berharap kamu akan kembali.
Masih ingat saat aku bilang, suatu hari nanti ketika kita lebih dewasa secara emosional, aku ingin kamu menjadi pasanganku, suamiku, seseorang yang menemaniku seumur hidup? Kamu menjawab dengan santai bahwa kamu tidak mengharapkan itu. Kamu bertanya apakah aku sanggup, padahal jelas kamulah yang ragu... mungkin memang kamu tidak pernah menginginkannya sejak awal, kamu tidak pernah melihat masa depan itu bersamaku.
Saat itu seharusnya aku sadar. Hanya aku yang memperjuangkan ini. Hanya aku yang menggenggam perasaan yang seharusnya sudah aku lepaskan.
Setelah itu, semuanya semakin buruk. Semua chat panjang dan tulus yang kukirimkan—yang ditulis dari tempat paling dalam dan paling jujur dalam diriku—kamu abaikan begitu saja. Tidak ada balasan. Hanya tanda ceklis dua biru. Hanya hening. Dan ketika aku mencoba kembali mengirimkan pesan-pesan itu, tetap tak ada jawaban, begitupun dengan esoknya, esoknya, dan esoknya lagi. Semua pesan itu menumpuk seperti spam yang tidak berarti apa-apa bagimu. Dan ketika balasan itu akhirnya datang, isinya hanya satu dua kata—kosong, hambar, pahit—atau kalimat pedas yang menyayat.
Aku bahkan harus mencari cara supaya kamu memperhatikan pesan-pesanku. Betapa menyedihkannya. Betapa bodohnya aku.
Dan ketika kamu akhirnya membalas, itu selalu berakhir dengan kalimat yang membuatku menangis. Lalu aku? Aku malah memohon maaf. Meminta pengampunan dari seseorang yang bahkan tidak mau melihatku. Betapa rendahnya aku menjatuhkan diriku.
Apakah begitu menjijikannya aku bagimu? Kenapa kamu dengan mudah mengabaikanku, padahal aku bahkan tidak bisa tidur karena memikirkanmu? Aku ketakutan tiap malam—bukan karena kamu marah, tetapi karena aku takut sesuatu buruk terjadi padamu. Betapa bodohnya aku, bukan?
Setiap kali notifikasi WhatsApp muncul dengan namamu, meskipun hanya “ya” atau “nggak”, aku senang. Terlalu senang. Kamu tidak akan pernah tahu betapa sering aku melirik ponselku, menunggu pesan darimu. Betapa aku tidak lagi menikmati makananku, tidurku, bahkan saat bersama keluargaku. Adikku yang paling kusayangi pun sempat kuabaikan karena rasa khawatir itu menggerogotiku.
Pekerjaanku pun kacau. Aku mengajar dengan setengah hati. Saat murid-muridku menatapku menunggu penjelasan, pikiranku justru dipenuhi satu hal: menunggu notifikasi darimu yang… tak pernah datang
Dan, San, kamu tahu kapan aku benar-benar jatuh? Saat hari raya—ketika semua orang bertakbir menyambut kemenangan—justru aku merasa kalah. Karena hari itu, kamu mengirim satu pesan: pesan yang menyuruhku pergi dan melupakanmu.
Aku runtuh. Tubuhku dipenuhi biduran, wajahku bengkak dipenuhi bentol, kepalaku pusing, tekanan darahku drop, seluruh tubuhku ngilu. Ketika berdiri darahku seperti menyusut dan bertumpu pada kaki. Ternyata semua itu efek psikosomatis. Luar biasa bukan? Bahkan beban skripsi dan bentakan dosen yang pernah membuatku menangis berhari-hari pun tidak pernah membuatku setertekan itu. Sebesar itu dampak yang ditimbulkan hanya karna satu pesan singkat darimu itu.
Aku tahu, mungkin kamu akan menyebutku lebay, hiperbola, atau apapun.. dan ya? Kamu sering menganggapku seperti itu bukan? Si tukang pencari perhatian. Namun aku tidak peduli, aku tidak lagi akan membiarkanku membohongi diriku sendiri atau menahan dan menutupi semuanya seperti perintahmu.
Setelah kita berakhir pun, aku masih mencarimu. Aku masih menghubungi keluargamu—padahal kamu tahu aku pemalu. Aku masih bertanya pada teman-temanmu. Bahkan setahun setelah kita tidak bicara, aku masih mencari kabarmu.
Dan sekarang ketika aku membaca ulang sisa-sisa pesanku setelah kita benar-benar berakhir… aku tidak mengerti. Kenapa aku melakukannya? Puluhan pesan tanpa balasan. Hanya berisi hening dan udara kosong.
Apakah aku tolol?
Ya. Aku tolol. Dan aku menyesalinya.
Tapi kini aku berada di fase baru—fase di mana melupakanmu adalah hal yang membuatku waras. Aku akan memastikan bahwa suatu hari nanti aku akan menemukan kebahagiaanku sendiri. Aku akan menunjukkan padamu bahwa tanpamu pun aku baik-baik saja—bahkan lebih bahagia. Aku akan membuktikan bahwa aku layak dicintai, bahwa aku bisa menemukan seseorang yang jauh lebih baik darimu.
Dan ketika hari itu tiba, aku tidak ingin lagi namamu muncul bahkan di kenanganku yang paling kecil sekalipun.
Dan sebelum semuanya benar-benar selesai, ada satu kenangan kecil yang tiba-tiba kembali menampakkan dirinya—sesuatu yang dulu terasa sepele, tapi kini justru menjadi penanda paling jelas dari perjalanan bodohku. Dulu, aku pernah diam-diam memotretmu dari ambang pintu kelas. Aku pura-pura sedang memotret daun pucuk merah yang kugenggam, padahal sebenarnya aku mencuri potretmu, menjadikan pucuk merah itu sekadar alasan agar tak ada yang curiga. Saat itu aku tidak berpikir apa-apa; aku hanya merasa fotomu terlihat begitu pas dengan tanaman itu.
Tapi sekarang, setelah semua ini berakhir, aku baru mengerti betapa tepatnya pilihan itu.
Pucuk merah… tanaman yang selalu tampak hijau di awal: tenang, polos, sederhana—seperti perasaanku waktu itu. Tetapi ujungnya selalu berubah merah, menyala seperti luka yang terbuka, seperti sesuatu yang lambat-laun perih jika disentuh. Dan entah mengapa, kini semuanya terasa sangat cocok untuk menggambarkanmu. Untuk menggambarkan kita—atau apa pun yang pernah kuanggap sebagai “kita.”
Mungkin ini hal paling kecil yang pernah kubanggakan: bahwa aku menemukan simbol itu bahkan ketika aku masih remaja, ketika kamu hanyalah teman sekelas yang tidak tahu apa-apa tentang badai yang suatu hari akan kamu tinggalkan di hidupku. Bahwa tanpa kusadari, sejak dulu aku sudah memilih lambang yang paling tepat untukmu.
Jadi, untuk semua yang telah kutuliskan di sini…
untuk semua luka yang akhirnya mulai kupahami tanpa lagi menyalahkan diriku sendiri…
aku beri nama cerita ini:
Pucuk Merah
Komentar
Posting Komentar