Cari Blog Ini
Catatan seorang pejalan yang belajar memasrahkan segala cerita hidup pada Sang Pemilik Waktu. Tentang hujan, rindu, kegagalan, dan syukur yang berujung pada ketenangan
Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Cerpen Remaja, Waktu yang tidak tepat
Waktu Yang Tidak Tepat
nisa nurmillah
Kita tak pernah tahu, kapan benang putih itu akhirnya memisahkan hubungan yang telah lama terjalin. Bukan maksudku menggores luka, namun mungkin inilah yang terbaik saat ambisi mulai bertahta. Aku tahu ini bukan hal mudah. Memilih berpisah tak pernah jadi jalan yang ringan. Namun percayalah, jika Tuhan menghendaki, yang kita harapkan pasti akan terjadi.
Aku masih ingat betul, semuanya bermula di sebuah gedung Islamic Central di pusat kota—tempat orang-orang berkumpul, berbaur dalam hiruk-pikuk kajian dan aktivitas dakwah. Di tengah ramainya langkah manusia, kau datang menghampiriku dengan senyum menawan, menanyakan tempat berlangsungnya acara. Sapa sederhana itu menjadi awal dari kisah kita. Kita berjalan bersama menuju lokasi, hanya berbalas tanya-jawab singkat, sebatas “ya” atau “tidak”, diselingi senyum kecil yang entah mengapa terasa hangat. Namun aku tak dapat memungkiri, ada rasa yang tiba-tiba hadir mengisi ruang kosong di hatiku. Aku tak tahu apakah kau juga merasakannya, atau hanya sekadar kita berjalan di aspal yang sama. Yang pasti, dari situ kita bertukar nomor ponsel untuk pertama kali.
Sejak saat itu, waktu kita penuh dengan percakapan. Dering ponsel berubah menjadi alarm penanda setiap jarum jam berputar. Kita saling mengenal, saling memahami, saling menukar cerita dan tawa. Ada kebahagiaan yang lahir setiap kali kita berbincang; kepuasan dalam bertukar pikiran; kekaguman yang tak pernah jenuh tumbuh. Kenyamanan itu—aku dan kamu sama-sama mengakuinya—perlahan tumbuh seiring berjalannya waktu. Hingga akhirnya, dengan keberanian yang kau punya, kau ungkapkan perasaan yang selama ini kau simpan.
Andai kau tahu betapa bahagianya aku kala itu. Sesuatu yang sering kupanjatkan dalam doa malam ternyata bukan hanya harapan sepihak. Ternyata hatimu pun telah menyediakan ruang untukku. Maka tanpa ragu aku menerimamu.
Hari-hari kita terus berlanjut. Kau hadir menjadi salah satu alasanku berbahagia. Menjalani hari tanpamu bagai kekosongan yang menyiksa. Awalnya, aku merasa lengkap. Nyaman di dekatmu, senang setiap detik yang kita lewati bersama. Tapi kemudian, sesuatu menyadarkanku. Kenyamanan yang dulu terasa manis perlahan sirna; kebahagiaan berubah hampa. Aku merasa kehilangan sesuatu yang amat berharga—kedamaian yang biasa kurasakan ketika dzikir kulantunkan. Seolah jarakku dengan Sang Khalik dipisahkan lubang menganga yang semakin membesar.
Aku berusaha mendapatkannya kembali. Meski sungguh menginginkan, aku tak tahu bagaimana caranya. Hingga suatu hari, di bawah langit biru dengan gumpalan mega putih berarak pelan, seseorang mengajakku menghadiri kajian. Itu kali pertama aku kembali menghadiri kajian rohani setelah berbulan-bulan aku menghindar dengan alasan tugas duniawi. Saat itu aku sadar betapa angkuhnya aku. Betapa aku telah mementingkan hal fana, melupakan akhirat. Maka aku bertekad untuk memulai semuanya dari awal.
Hari demi hari aku lalui. Kutempuh perjalanan jauh demi menuntut ilmu rohani. Semakin banyak yang kupelajari, semakin terasa kepayahanku yang tak tahu apa-apa. Namun, seiring langkah itu, jarak antara aku dan kamu kian nyata. Aku mulai paham ada hal-hal yang seharusnya tidak kubiarkan bertahta. Termasuk rasa ini.
Aku masih ingat betul percakapan kita di bangku taman saat hari Minggu tiba. Mungkin itu hari terakhir kita duduk bersama seperti itu. Kau datang dengan setelan santai—kaus biru lengan panjang dan jeans hitam—terlihat begitu rupawan. Kau duduk tepat di sampingku. Harum parfummu menyelinap lembut ke rongga hidungku. Semilir angin sore mengiringi percakapan kita.
“Rasanya sudah lama sekali kita tidak seperti ini. Tidakkah kau merindukanku, Rin?” tuturnya dengan nada khas yang dulu begitu kurindukan.
Aku ingin menjawab: “Aku merindukanmu. Tapi rinduku pada Sang Khalik kini jadi prioritas. Dan semoga untuk selamanya.” Namun bibirku kelu. Yang keluar hanya senyum tipis di bibir mungilku.
“Ada apa, Rin? Adakah kesalahan yang tanpa sengaja kulakukan?” tanyamu lagi.
Andai kau tahu, tuturan lembutmu membuatku hampir goyah pada keputusan yang sudah kupilih. Aku hanya menggeleng pelan. Ekspresimu berubah; antara penasaran, khawatir, kesal—aku tak mampu menerka. Tatapanmu tak lagi hangat.
Aku menghela napas. Kata-kata berputar di kepalaku, kucoba merangkainya agar tak melukai. Perlahan aku menatapmu.
“Ar, aku sama sekali tak bermaksud membuatmu gelisah atau khawatir. Maafkan aku jika selama ini pernah membuatmu tidak nyaman. Aku menyukaimu, aku merindukanmu. Kau tahu itu. Dan aku tahu kau juga menyukaiku. Itu bukan kebohongan.”
Aku berhenti sejenak, menetralkan emosi yang mulai menyeruak.
“Ar…” wajahmu saat itu menegang, ekspresi takut kian jelas. Aku pun merasakan panas menjalar di wajahku. “Tapi kita harus melakukan ini. Tuhan tidak merestui hubungan kita. Cinta ini hadir bukan di waktu yang tepat. Kau pasti merasakannya, kan? Kebahagiaan kita hanyalah kebahagiaan semu. Aku takut Tuhan marah. Ia Maha Pencemburu. Kau juga tahu itu…” mataku mulai panas, kata-kata tercekat di tenggorokan. Kau menggeleng lemah dengan mata yang ikut berkaca-kaca.
“Allah tahu yang terbaik untuk kita. Termasuk pasangan kita kelak. Bahkan mungkin jika Allah menghendaki, suatu saat nanti kita dipertemukan kembali di waktu yang tepat. Oleh karena itu, Ar, kita harus akhiri hubungan ini.”
Akhirnya kalimat pamungkas itu terucap. Bulir bening jatuh begitu saja di pipiku. Kau terdiam, ekspresi wajahmu sulit kuterjemahkan. Lalu suaramu kembali terdengar, berat, hampir pecah.
“Kau yakin dengan yang kau ucapkan barusan?”
“Ya. Aku yakin,” jawabku sambil mengangguk.
“Kau serius? Setelah dua tahun bersama, kau akan meninggalkan semua janji? Semua harapan yang kita rajut?” tuturnya, mata berair, suara penuh emosi.
Aku menutup mata sesaat, lalu dengan tegas berkata, “Iya.”
“Lalu bagaimana jika aku tidak yakin bisa menjalani semua ini?” suaramu melembut lagi.
“Ini demi kebaikan kita. Tolong pahamilah, Ar,” jawabku.
“Sadarkah kau bahwa setiap kata yang kau ucap itu menyakitiku, Rin?” suaramu gemetar. Belum sempat aku membalas, kau kembali berujar, “Baiklah. Jika itu inginmu… aku mengalah, Rin.”
Itulah kalimat terakhir yang kudengar darimu sebelum kau melangkah pergi, meninggalkanku yang masih berusaha menetralkan diri.
Aku tak menyesali apa yang terjadi. Meski sedih masih terasa, ada kelegaan yang menyelinap. Aku yakin Allah selalu bersama di manapun kita berada. Itulah akhir dari hubungan cinta semu kami—dan awal dari cinta sejati yang selama ini belum mampu kupahami: cinta kepada Sang Ilahi Rabbi.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Postingan Populer
Surat Doa: Ya Allah, Jangan Biarkan Aku Hilang Arah
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar