Langsung ke konten utama

Unggulan

Surat Doa: Ya Allah, Jangan Biarkan Aku Hilang Arah

 Ya Allah… Di hari-hari yang terasa hampa ini, aku datang kepada-Mu dengan hati yang gemetar. Aku tidak tahu harus berbuat apa, tidak tahu harus mulai dari mana. Aku merasa kosong, kehilangan semangat, kehilangan arah — dan di antara semua kehilangan itu, aku paling takut kehilangan diri dan kepercayaanku pada-Mu. Ya Allah, aku tahu Engkau Maha Melihat. Engkau tahu betapa lemahnya aku sekarang, betapa sulitnya aku untuk bangun, untuk berpikir jernih, untuk melangkah lagi. Terkadang aku merasa seperti beban bagi dunia, seperti tidak ada yang membutuhkan kehadiranku. Tapi jauh di lubuk hatiku, aku tahu — Engkau tidak pernah menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Dan itu termasuk aku. Maka Ya Rabb, tolonglah aku yang sedang kehilangan cahaya ini. Bimbing aku untuk kembali mengenal-Mu dengan lembut, agar hatiku tenang dan pikiranku kuat kembali. Jangan biarkan rasa takutku membuatku berhenti berjuang. Jangan biarkan rasa malas menutupi niat baik yang masih ada di hatiku. ...

Cerpen Cinta dan Persahabatan

 

Cinta dan Persahabatan

Nisa Nurmillah

 

Cinta, beberapa orang mengatakan cinta adalah alasan mengenai hadirnya suatu kebahagiaan. Mungkin itu benar, karena pada kenyataannya, cinta mampu membuat semuanya terlihat menawan. Namun, bagaimana dengan cinta yang tak mampu diungkapkan, hanya menyimpan berjuta harapan dalam bayangan.

Jujur saja, aku tak pernah tahu ke mana hatiku akan berlabuh, pun tak pernah tahu mengenai cinta yang diam-diam tumbuh dan membuat jantung ikut bergemuruh, yang kutahu, kini hatiku jatuh pada tempat yang tak semestinya, pada seseorang yang selama ini menemaniku menghabiskan waktu, yang tak lain adalah sahabatku. Namanya Aryan, remaja pria yang berhasil mengisi ruang kosong dalam hati. Meski tak berharap ini terjadi, namun itulah kenyataan yang kualami.

Gerimis mengguyur bumi sejak siang tadi, awan berarak menggumpal menyelimuti langit, membuat hari terasa lebih gelap dari semestinya. Di dalam ruangan berukuran 8×6m2 itu, aku masih berkutat dengan tumpukan kertas yang berisi coretan pena di atasnya, juga sebuah alat musik bernama piano. Menulis nada, mencobanya, lalu menghapusnya dan  menggantinya dengan nada baru, selalu saja begitu. Bulan depan adalah kontes lomba mencipta lagu, dan aku salah satu peserta di lomba tersebut dengan ditemani Aryan tentunya, seorang vokalis yang digilai hampir seluruh siswi di sekolah karena suara dan visualnya yang memukau. 

“Aisy, apa masih lama?” Tanya Aryan yang sedari tadi duduk di kursi sebelahku dengan tangan melingkari gitar, sesekali ia memainkannya.

“Hem,,, begitulah. Buat lagu ternyata gak semudah yang dibayangin,” jawabku, masih fokus dengan tumpukan kertas dan piano, “Kalo mau pulang, boleh kok. Nanti aku pulangnya naik angkutan umum aja,” lanjutku, tanpa menoleh ke arahnya.

“Serius, gak papa kalo aku tinggalin sendirian?” jawabnya. Sesaat aku menghentikan aktivitasku dan beralih kepadanya, membuat tatapan kami bertemu untuk beberapa detik.

“Ya... kalo kamu mau pulang, yaudah gak papa,” jawabku ragu, “Silakan aja sih, lagian aku udah gede ini ‘kan. Bela diri aku bisa, hantu juga gak takut tuh,” lanjutku, mencoba untuk meyakinkan diri. Beberapa detik kulihat ia tampak berfikir, lalu di detik setelahnya, ia beranjak menuju ke tempatku.

“Halah, berani apaan, kamu palingan cuma ngomong doang,” sebelum aku menjawab ucapannya, ia sudah mengambil alih buku dan pena di tanganku. “Aku bantu biar cepet, kalo kamu yang ngerjain, nyampe subuh pun aku gak yakin kalo lagunya beres,” lanjutnya.

Aku hanya terdiam mendengarnya, bahkan mungkin tak mendengar apapun yang ia katakan, detak jantung yang berpacu cepat, lebih mendominasi pendengaranku ketika melihatnya dari jarak sedekat ini. Dengan segera aku memalingkan pandanganku, apa yang akan ia pikirkan ketika melihatku seperti ini.

“Akan aku coba nyanyikan, kamu yang menulis nadanya, oke?” Aku mengangguk mengiyakan.

Tak terasa dua jam berlalu, sudah setengah lagu kami selesaikan bersama. Beberapa nada dan lirik ada yang diganti, dan aku cukup puas dengan hasil yang didapat. Dan ya, tentu saja kita selesaikan dengan tawa dan banyolan konyol yang saling terlontar.

Hari semakin menggelap dan rintik hujan sudah mulai mereda, sekilas aku melirik arloji yang melingkar di tanganku. Waktu menunjukkan pukul 5.30, itu artinya sebentar lagi masuk waktu maghrib, Ibu pasti mencariku.

“Ar, udahan yuk, udah setengah enam,” ujarku tiba-tiba, membuat Aryan yang tengah fokus dengan kerjaannya menoleh padaku.

“Hah, serius? Yah padahal ini nanggung Aisy, tinggal beberapa bait lagi.”

“Lanjutin besok ajalah, lombanya masih lama ini,” jawabku, kukuh. Aryan menurut, kami membereskan ruangan terlebih dahulu, sebelum akhirnya melangkah pergi menjauhi ruangan menuju tempat parkir sekolah. Pulang bersama dengan motor metic milik Aryan. 

Mungkin itulah kami, hanya sebatas teman biasa yang memang sudah terbiasa melakukan aktivitas bersama. Dengan bermodal rumah yang hanya berjarak tiga langkah dan hobi yang sama, tidak aneh jika kami bisa begitu dekat. Dari mulai belajar bareng, nugas bareng, main musik bareng, ngaji bareng, dan kegiatan lainnya, hampir semua kami lalui bersama. Namun, sayangnya kita hanya sebatas teman, tak ada yang spesial dengan semua itu.

Kontes lomba semakin mendekati hari, setelah satu minggu berlalu, akhirnya kami menyelesaikan juga lagu kami. Hanya tinggal latihan yang mesti kami perdalam. Di lorong koridor kelas, seseorang menabrakku tiba-tiba. Dia adalah Syifa, seorang siswi cantik dan pintar yang tidak lama ini menjadi siswa baru di kelasku. Dengan segera, ia meminta maaf seiring dengan senyum yang merekah di bibir ranumnya.

“Eh kebetulan banget, kamu Aisyah kan, temannya Aryan?” ujarnya, masih dengan senyumnya yang memikat. 

“Eh, iya aku temannya, kenapa?” tanyaku. Tangannya terulur memberikan goodie bag yang berisi jaket Aryan. Sesaat aku terdiam, lalu mengangguk.

Di ruang musik, Aryan tengah menyanyikan lagu baru kami dengan iringan melodi gitar. Aku mengakui kelembutan suara khas miliknya yang memang memukau, wajar saja ia menjadi bintang di sekolah ini.

“Assalamualaikum. Tumben rajin, Ar,” ucapku, basa basi. Ia membalas salamku. Senyum merekah mengembang di bibirnya. “Lagi bahagia ya, kaya orang kasmaran aja,” lanjutku meraih gitar yang lain. Duduk tepat di sebelahnya. Sesaat ia terbelak mendengar ucapanku, diikuti senyum samar yang tersungging di bibirnya.

“Aku tahu kamu mau jadi peramal Aisy, tapi gak gini caranya,” aku tergelak mendengar ocehannya yang menyerupai bintang sinetron itu, meninju ringan lengannya. 

“Aw, sakit, Aisy!” Rintihnya yang hanya kujawab dengan seulas senyum.

Kami kembali fokus pada aktivitas yang sempat tertunda di detik setelahnya, dan mulai berlatih bersama. Dua jam berlalu tanpa terasa, latihan segera kami akhiri. Saat hendak pergi, aku baru ingat dengan tas yang diberikan Syifa tadi pagi.

“Ar, dari Syifa” ujarku singkat, memberikan kantong itu pada Aryan. Aku masih bisa melihat wajah terkejut yang ditampakkannya, dan sesaat kemudian senyum samar kembali nampak di bibirnya. Seharusnya aku sudah bisa mengerti apa yang terjadi antara Syifa dan Aryan, meski hanya dengan melihat ekspresi wajah Aryan, tidak ada lagi bukti yang dibutuhkan.

“Aisy!” serunya tiba-tiba. Aku menoleh dengan spontan

“Bagaimana menurutmu, apakah Syifa baik untukku? Aku menyukainya belum lama ini,” lanjutnya. Aku masih bergeming di tempat, apa yang baru saja kudengar berhasil membuatku jatuh pada kesadaran yang tak utuh. Mengguncang keberadaanku yang seakan menjelma menjadi serpihan kaca yang hancurkan paksa. Ingin rasanya aku menangis dan berteriak bahwa kini aku benar-benar terluka, tapi itu bukanlah keputusan yang tepat. Dengan hati yang kupaksa kuat, aku tersenyum menanggapinya, sekaligus sebagai topeng dari luka yang tiba-tiba datang. Aku tahu hal ini yang terjadi, tapi mendengarnya langsung dari Aryan, ternyata lebih menyakitkan. 

“Aku bisa berkata apa, semua tergantung padamu, jika menurutmu baik, kenapa tidak,” aku menelan ludah sesaat, mencoba membasahi tenggorokanku yang tiba-tiba terasa kering. “Ternyata kamu bisa jatuh cinta juga, ya,” gurauku kemudian. 

“Iyalah, emang kamu pikir aku apa? Emangnya kamu,” jawabnya riang, dan lagi-lagi aku hanya tersenyum menanggapinya. Rasanya semua kata menguap begitu saja dari kepalaku. “Aku serius lho Aisy, gak ada gitu satupun gitu cowok yang kamu suka?”

“Kamu pikir? Udah ah, kok bahasannya gitu, pernah ataupun enggak, itu bukan urusan kamu,” jawabku, tanpa menatapnya. “Ar, kalau kamu anterin aku pulang sekarang keberatan gak? Aku kehabisan ongkos,” lanjutku beberapa detik kemudian. Aryan tergelak mendengarnya.

“Iyalah, kalo enggak sama aku, emang kamu pulang sama siapa lagi?” Aku kembali tersenyum. Ingin rasanya aku segera pulang ke rumah. Menumpahkan segala kepiluan yang menghampiri.

***

Setelah satu bulan aku mempersiapkan semuanya, hari perlombaan pun tiba. Aku datang lebih dulu ke acara, disusul Aryan yang ditemani Syifa, tentunya. Tepat setelah tragedi tas berisi jaket itu, Aryan mulai menceritakan semua kronologinya padaku. Meski perih itu hadir, aku tetap mendengarkannya, berpura-pura bahagia dengan semua yang ia tuturkan, karena hanya itu yang bisa kulakukan agar hubungan persahabatanku dengannya tetap berjalan. Aryan mengatakan bahwa tepat setelah penampilan lomba hari ini, ia akan mengungkapkan semua perasaannya pada Syifa, dan aku hanya mengangguk mengiyakan.

Perlombaan selesai, semua peserta menampilkan penampilan terbaiknya. Usahaku dan Aryan tidaklah sia-sia, kami berhasil meraih piala itu beserta uang tunai, juga kesempatan untuk mengikuti lomba di tingkat provinsi. Aku bahagia, tentu saja. Mimpiku terwujud. Namun, hal lain mungkin membuat kebahagiaan itu sedikit berkurang. Tapi tak apa, aku mencoba meyakinkan diri bahwa aku baik-baik saja. Aryan adalah sahabatku, dan bahagianya merupakan bahagiaku.

Beberapa hari setelah kejadian itu, aku sadar, cinta yang kurasakan bukanlah cinta sesungguhnya, melainkan hanya ambisi yang mendominasi diri. Karena cinta yang sejati hanya milik Sang Ilahi Rabbi. Aku sadar akan batasan yang telah kulampaui. Sampai sini aku memahami bahwa cinta dalam diam, bukan hanya cinta yang tak diungkapkan, melainkan cinta yang semata-mata karena Allah dan diam-diam memintanya dalam doa sepertiga malam.

Komentar

Postingan Populer