Langsung ke konten utama

Unggulan

Ketika Otak Terasa Menurun: Stuck, Bosan, dan Terjebak Dalam Lingkaran Overthinking

Pernah merasa stuck , bosan, dan seolah kemampuan otak mulai menurun? Aku pernah. Bahkan sekarang, aku masih mengalaminya. Beberapa waktu lalu, atasan—yang sebenarnya cukup baik, perhatian, dan sering memberiku ruang untuk berkembang—memintaku menyiapkan presentasi training untuk salah satu fitur pengembangan dari sistem yang sudah ada. Kalau didengar sekilas, itu tugas yang ringan. Banyak orang mungkin akan menganggapnya kesempatan emas untuk belajar hal baru atau menunjukkan kemampuan diri. Tapi untuk seseorang sepertiku, yang cenderung introvert, butuh struktur jelas, dan mudah kewalahan oleh ketidakpastian, tugas itu justru berubah menjadi beban mental yang cukup berat. Bukan karena presentasinya sulit, bukan karena materinya rumit, tapi karena aku tidak punya pegangan yang jelas . Masalahnya bukan pada tugasnya. Masalahnya pada reaksiku —dan aku baru menyadarinya belakangan. Ketika tugas itu diberikan, bukannya aku langsung merancang langkah-langkah yang harus dilakukan atau...

Kepala yang terlalu berisik part 1

Hai, setelah sekian tahun menghilang dari dunia aksara, kini aku kembali dengan sejumlah kisah yang menjadi alur kehidupanku tiga tahun ke belakang. Ya, kurang lebih tiga tahun telah berlalu sejak tulisan terakhir yang aku publish di blog ini. Jadi, sangat wajar jika banyak kekakuan dalam tulisanku kali ini—mohon dimaklumi, hehe.

Dua minggu lalu, tepatnya tanggal 1 Juli 2024, adalah hari kelulusanku. Akhirnya gelar Sarjana Sains yang selama ini aku dambakan itu resmi tersemat di belakang namaku. Alhamdulillah. Aku sangat senang, tentu saja. Namun begitulah manusia, selalu saja ada rasa tidak puas. Selalu saja ada kekhawatiran yang datang, menjadi hijab dari pencapaian yang seharusnya disyukuri dengan sepenuh hati.

Sering kali aku bertanya pada diri sendiri: kenapa isi kepalaku tak pernah bebas dari kebisingan? Apa sebenarnya yang diinginkannya? Kenapa ketakutan irasional itu datang satu demi satu? Apakah memang semenakutkan itu? Kenapa aku tak bisa bersyukur sepenuhnya atas pencapaian ini—padahal belum tentu semua orang bisa meraihnya? Pencapaian yang mungkin didambakan banyak orang, bukankah seharusnya membuatku bahagia?

Ini hanya tentang ketakutanku. Ketakutan yang sungguh tak kupahami: takut akan masa depan, akan hambatan, dan segala persoalan yang mungkin menyulitkan. Entah mengapa aku menjadi selemah ini, setakut ini akan kesendirian.

Apakah karena dosaku yang terlalu menumpuk hingga menghalangi masuknya cahaya kedamaian Ilahi? Ya Rabb, aku rindu. Aku ingin pulang. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara melangkah menuju rumah-Mu.


6 Januari 2023

Awal segalanya bermula. Dia—orang yang namanya sudah tersemat di daftar pria yang kukagumi sejak awal 2022—akhirnya mematahkan anggapanku bahwa rasaku hanya akan berbalas kehampaan.

Malam itu, di telepon, setelah kami baru tiba di Bandung, dia menyatakan rasa sukanya padaku. Sejak saat itu, kami menjalin sebuah hubungan. Hingga kini, aku masih sering bertanya: apakah keputusanku benar, atau justru membuka gerbang kehancuran untuk diriku?

Aku ingat betul, dengan tak tahu malunya, aku mengirim pesan WA padanya. Aku bilang aku merasa kesepian. Ya, aku memang begitu. Entah apa yang salah denganku. Setiap kali meninggalkan rumah dan tiba di kamar kos perantauan, kehampaan seakan siap membunuhku perlahan, menghujam dengan ribuan kecemasan.

Saat itu, dia menawarkan untuk menelepon, menemaniku yang tengah kesepian. Aku menerimanya, tentu saja. Siapa yang akan menolak tawaran itu—terlebih dari orang yang kusukai? Hingga di akhir panggilan, kalimat itu pun meluncur dari mulutnya. Ungkapan yang selama ini hanya hadir sebagai bunga tidur.

Apakah aku senang? Tentu saja. Aku sangat bahagia. Di antara lingkaran pertemanan yang tak henti membicarakan pasangan, akhirnya aku tak lagi berperan sebagai pendengar pasif kisah percintaan.

Awal hubungan kami memang canggung. Status sebelumnya sebagai teman dekat membuat kami butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Hari-hari pun terus berjalan, dan kecanggungan itu perlahan sirna, digantikan rasa nyaman yang tumbuh dari kebersamaan.

Hari ke-14 setelah jadian, kami pulang bersama ke Garut. Di tengah perjalanan, dia mengajakku singgah di sebuah kedai kopi sekaligus penjual kue balok di Nagreg—batas tengah antara Garut dan Bandung. Itu kali pertama aku duduk berdua dengannya, menikmati pahitnya kopi dan lembutnya kue balok, di bawah birunya langit, undakan awan putih, dan semilir angin sepoi yang menemani percakapan ringan kami.

Empat hari setelah itu, dia mengajakku nonton bioskop di salah satu mall di Garut. Film horor. Setelahnya, kami menghangatkan malam dengan semangkuk ramen di restoran Jepang. Malam itu, untuk pertama kalinya, dia menggandeng lenganku.

Bersambung ke part selanjutnyaa

Komentar

Postingan Populer