Langsung ke konten utama

Unggulan

Ketika Otak Terasa Menurun: Stuck, Bosan, dan Terjebak Dalam Lingkaran Overthinking

Pernah merasa stuck , bosan, dan seolah kemampuan otak mulai menurun? Aku pernah. Bahkan sekarang, aku masih mengalaminya. Beberapa waktu lalu, atasan—yang sebenarnya cukup baik, perhatian, dan sering memberiku ruang untuk berkembang—memintaku menyiapkan presentasi training untuk salah satu fitur pengembangan dari sistem yang sudah ada. Kalau didengar sekilas, itu tugas yang ringan. Banyak orang mungkin akan menganggapnya kesempatan emas untuk belajar hal baru atau menunjukkan kemampuan diri. Tapi untuk seseorang sepertiku, yang cenderung introvert, butuh struktur jelas, dan mudah kewalahan oleh ketidakpastian, tugas itu justru berubah menjadi beban mental yang cukup berat. Bukan karena presentasinya sulit, bukan karena materinya rumit, tapi karena aku tidak punya pegangan yang jelas . Masalahnya bukan pada tugasnya. Masalahnya pada reaksiku —dan aku baru menyadarinya belakangan. Ketika tugas itu diberikan, bukannya aku langsung merancang langkah-langkah yang harus dilakukan atau...

Antara Kekecewaan dan Pertolongan

Sudah lebih dari setahun aku tidak menulis di blog ini. Selama itu juga aku tidak menuangkan isi kepalaku dalam tulisan, jadi wajar rasanya kalau tulisan ini terasa kaku. Namun, sepertinya kebisingan di kepalaku sudah terlalu penuh untuk dibiarkan. Inilah saatnya aku menguraikannya.

Seseorang pernah menyarankanku untuk menulis jurnal agar bisa meredakan kecemasan. Ternyata itu cukup berhasil. Pernah aku membaca judul buku “Bagaimana Jika Aku Tidak Menjadi Apa-apa”. Pertanyaan itu kini justru menjadi gerbang yang membuka segala ketakutan di kepalaku: tentang kehampaan, tentang ketidakberdayaan, tentang kegagalan.


Gelar yang Hanya Menjadi Titel

Satu tahun lebih tiga bulan aku sudah menyandang gelar yang dulu kuimpikan. Namun ternyata, gelar itu hanya berakhir sebagai sebuah titel di belakang nama, tanpa makna apa-apa. Bayangan indah yang dulu ada di kepalaku—tentang kesuksesan, pencapaian, kesejahteraan, dan kejayaan yang selalu kujanjikan pada keluargaku—semuanya hilang. Sama seperti asap yang mengepul di awal lalu lenyap diterbangkan angin.

Mungkin aku bodoh. Terlalu percaya diri, memberi janji-janji manis pada keluargaku:
"Kelak ketika aku lulus, aku akan menanggung semuanya. Tidak ada lagi tangisan karena ekonomi. Aku akan kerja di perusahaan besar dengan gaji tinggi. Mama sabar sebentar, aku akan buktikan."

Nyatanya semua hanya omong kosong. Aku memang setidak berguna itu sebagai seorang kakak—sosok penuh kesombongan tanpa kemampuan.


Mengajar, Lalu Mengundurkan Diri

Dua bulan setelah lulus, aku sempat mengajar di sebuah MTs. Dua semester aku mengabdikan diri di sana, sampai akhirnya memutuskan berhenti di tahun ajaran baru.

Kenapa? Aku sendiri tidak yakin. Mungkin karena ego, mungkin karena sisi dalam diriku yang selalu berontak. Aku suka mengajar, aku akui itu. Aku suka ilmu pengetahuan, suka berbagi. Tapi di sisi lain, ada ketakutan yang selalu menyerbu: perasaan diasingkan, dianggap lemah, tidak dihargai. Rasanya seperti kelomang yang bersembunyi di tempurung. Seperti wajah bodoh yang ketakutan setiap kali harus menghadapi manusia.

Lingkungan sekolah itu terlalu dingin, terlalu acuh, tapi juga berisik di sisi lain. Aku menyerah. Keputusanku membuat keluarga kecewa.

Aku masih ingat janjiku pada mama saat itu. Dengan suara penuh percaya diri, aku berkata:
"Ma, mama tenang saja. Dua bulan lagi aku kerja. Aku bisa, Ma. Lihat kan aku sudah sampai tahap TKB di rekrutmen BUMN? Aku akan kerja di kantor besar, gajiku besar, aku akan kirim ke mama tiap bulan. Jadi guru itu capek, gajinya kecil, lagi pula aku bukan lulusan pendidikan."

Padahal, sebenarnya aku hanya pengecut yang takut menghadapi manusia. Aku hanya takut mama akan menganggapku lemah.


Harapan Palsu dari RBBUMN

Aku memang ikut RBBUMN dan berhasil lolos sampai tahap TKB, peringkat enam besar dari seribu pelamar. Saat pengumuman itu keluar, kebetulan bersamaan dengan pengunduran diriku dari sekolah. Itu jadi alasan kuat untuk meyakinkan mama. Meski wajahnya tetap menyimpan kecewa, setidaknya ia bisa sedikit tenang.

Mama adalah saksi betapa berat hidup ini menekannya. Air mata, cemas, dan putus asa sering kulihat di wajahnya. Keenam anaknya ia genggam, meski di hadapan keluarga besar kami yang berada, mama harus rela merendah, bahkan meminjam uang dengan rasa malu. Aku benci melihatnya begitu. Aku marah, tapi entah kepada siapa.

Aku tahu mama menaruh harapan besar padaku. Tapi nyatanya, pengumuman selanjutnya menyatakan aku gagal di tahap interview. Malu? Tentu. Hancur? Lebih dari itu.


Luka yang Mengendap

Mungkin trauma perasaan terasing ini memang bermula dari kecil. Dari seringnya dibandingkan dengan sepupu-sepupu yang lebih berada. Dari seringnya diabaikan, dihina, atau dipandang sebelah mata. Dari pengalaman ikut berjalan di belakang, memegang tangan adik kecilku, sementara sepupu lain selalu berada di depan, dipeluk, dipangku.

Aku membenci banyak hal dari masa kecil itu: harus mengalah, harus menerima sisa, harus mendengar hinaan seperti bau, kotor, jelek. Semua itu menanamkan rasa rendah diri sekaligus kebencian yang panjang.

Mungkin, itulah yang membuatku jadi penakut sekaligus pembenci saat dewasa.


Menjadi Kakak

Meski begitu, ada satu hal yang membuatku merasa berguna: adik-adikku.

Gaji tiga bulan dari sekolah baru cair setelah aku resign. Tidak banyak, kurang dari 500 ribu per bulan. Tapi aku bisa gunakan untuk sesuatu yang berarti. Aku belikan tas untuk dua adikku, peralatan mewarnai untuk adik bungsu yang suka melukis. Aku ingin mereka punya masa kecil yang lebih baik, agar tidak tumbuh dengan rasa rendah diri sepertiku.

Aku juga sempat membelikan sepeda, memberi THR, atau sekadar traktir makanan kecil. Rasanya bahagia sekali ketika aku bisa membuat mereka tersenyum. Setidaknya, meski aku gagal, aku masih bisa sedikit berguna.


Kekecewaan Mama

Saat pengumuman kegagalanku di RBBUMN keluar, aku bisa melihat kekecewaan di mata mama. Ia bahkan menyampaikannya terang-terangan pada pamanku bahwa aku kini tidak lagi bekerja. Sorot matanya begitu jelas: takut aku hanya jadi pengangguran, takut aku hanya diam di rumah, takut aku tidak akan menikah.

Aku tahu ia cemas. Ia takut aku benar-benar menjadi beban.


Pertolongan yang Datang

Tapi Allah Maha Baik. Lewat pamanku, Ia kirim pertolongan. Pamanku menawari proyek sekaligus mengajariku skill baru: data analyst. Meski tidak rutin dan tidak sedetail kursus resmi, itu lebih dari cukup. Itu bentuk kebaikan nyata yang menyelamatkanku dari keterpurukan.


Bersambung...


Komentar

Postingan Populer