Cari Blog Ini
Catatan seorang pejalan yang belajar memasrahkan segala cerita hidup pada Sang Pemilik Waktu. Tentang hujan, rindu, kegagalan, dan syukur yang berujung pada ketenangan
Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Di Balik Sunyi, Aku Tetap Hidup
Aku menggeser ponsel yang sejak tadi kupandangi. Jempolku bergerak pelan, membuka media sosial—sebuah dunia lain yang terasa begitu jauh dariku. Dunia yang penuh warna, tawa, dan kebahagiaan.
Video pertama yang muncul adalah teman-temanku yang sedang berkumpul di sebuah kafe. Mereka tertawa lepas, wajah mereka bercahaya, penuh energi. Di video berikutnya, ada yang sedang liburan ke pantai, senyum mereka lebar, seolah hidup tak pernah memberi luka.
Aku berhenti di sebuah postingan: seorang teman memamerkan foto pertunangan dengan caption penuh doa. Lalu bergeser lagi—seorang lain bercerita tentang keberangkatannya ke Jerman untuk melanjutkan S2. Ada juga yang memperlihatkan ruang kerja di kantor yang elegan.
Aku menarik napas panjang. “Mereka hidup… sedangkan aku hanya bertahan,” gumamku dalam hati.
Mataku terasa panas. Aku tidak ingat kapan terakhir kali melihat diriku sendiri di cermin dan merasa cukup. Aku tidak pernah seperti mereka. Masa remajaku bukan tentang pesta, jalan-jalan, nongkrong, atau belajar makeup. Aku bahkan tidak tahu rasanya punya geng sahabat yang bercanda hingga larut malam.
Aku remaja yang culun, berpakaian seadanya. Tidak pernah mengikuti tren. Makeup hanya kulihat di layar, bukan di wajahku. Ulang tahunku lewat seperti hari-hari biasa, tanpa kue, tanpa ucapan. Wisuda pun kulewati tanpa pelukan hangat atau kehadiran orang-orang yang menatapku bangga.
Aku masih ingat ketika seseorang bertanya padaku, “Kamu kok nggak pernah ikut kita jalan-jalan? Hidupmu serius banget.” Aku hanya tersenyum saat itu, padahal hatiku hancur. Mereka tidak tahu aku bahkan tak punya uang untuk ongkos pulang.
Aku tumbuh dengan keyakinan bahwa tugasku adalah bertahan. Aku harus mengalah untuk adik-adikku, harus mendahulukan mereka dalam segala hal. Aku belajar sejak kecil bahwa kesenanganku tidak penting, yang penting keluarga.
“Aku hanya tahu menahan diri…” bisikku pada diriku sendiri.
Aku tidak boleh menangis, tidak boleh lemah, tidak boleh mengeluh, tidak boleh meminta.
Dan kini, saat aku seharusnya bekerja, aku malah duduk di sini. Menganggur. Bukan karena aku tak mau, tapi karena nasib seolah menjebakku di tempat yang sama.
Pagi tadi aku bangun terlambat lagi. Matahari sudah tinggi, dan rasa bersalah langsung menindih dadaku. Di meja, amplop lamaran kerja yang tak kunjung mendapat balasan masih tergeletak, seperti bukti kegagalanku sendiri. Kadang aku mendengar bisik-bisik di ruang tamu: “Dia sudah besar tapi belum juga kerja.” Mereka mungkin tidak bermaksud jahat, tapi setiap kalimat itu terasa seperti palu yang memukul dadaku.
Aku merasa seperti mesin yang berkarat. Tombol-tombolku ditekan—oleh keluarga, oleh ekspektasi, oleh diriku sendiri—tapi tak ada yang bergerak. Hanya bunyi berdengung tanpa hasil, seperti roda gigi yang sudah aus. Aku tidak hanya miskin pengalaman bahagia di masa lalu, tapi juga tidak berguna di masa kini.
Aku menatap layar ponsel. Notifikasi baru masuk. Seorang teman memamerkan hadiah ulang tahun dari kekasihnya. Caption-nya penuh cinta, penuh terima kasih.
Hatiku terasa bolong. Air mata yang kutahan sejak tadi akhirnya jatuh. Tidak deras, hanya menetes pelan, seperti hujan pertama di musim kemarau.
Aku menunduk. “Ya Allah… aku lelah. Aku ingin dicintai. Aku ingin dianggap cukup…” suaraku nyaris tak terdengar.
Aku memeluk diriku sendiri. Rasanya tubuh ini begitu asing. Aku bertanya pada diri sendiri, apa aku ini benar-benar manusia, atau hanya mesin yang diprogram untuk bekerja? Dan jika aku mesin, aku adalah mesin yang rusak, yang gagal memenuhi fungsinya.
Bayangan masa kecilku muncul. Anak kecil yang sering dimarahi ketika menangis, dipaksa mengalah, dipaksa mengerti tanpa pernah dimengerti. Anak kecil yang dulu punya mimpi sederhana: ingin bahagia, ingin merasa aman.
Dulu, mengalah adalah satu-satunya pilihan untukku, sedangkan kini setiap kegagalan terasa sepenuhnya salahku, seakan aku memang diciptakan hanya untuk kalah.
Aku menutup mata. Dalam sunyi itu, percakapan batin mulai terdengar. Bukan suara orang lain, tapi suaraku sendiri yang terdengar berbeda.
“Kenapa kamu masih bertahan?”
“Karena aku tak punya pilihan.”
“Benarkah tidak punya pilihan? Atau kamu terlalu terbiasa menyakiti dirimu sendiri?”
Aku terdiam.
“Kamu boleh lemah, tahu?”
“Tidak… aku tidak boleh lemah.”
“Siapa yang bilang?”
“Aku… aku yang bilang.”
Aku menggigit bibir. Percakapan itu seperti menamparku. Selama ini aku hidup dengan perintah yang kutanam sendiri. Aku tidak boleh menangis, tidak boleh meminta, tidak boleh bahagia melebihi orang lain. Padahal aku manusia biasa bukan mesin yang tak berperasa.
Air mataku jatuh lebih deras. Tangis yang dalam, bukan sekadar keluarnya air mata, tapi sebuah jeritan jiwa yang terpendam terlalu lama.
Aku mendengar lagi suara batin itu:
“Kamu lelah, ya?”
“Ya…” jawabku lirih, kali ini dengan suara nyata.
“Kamu ingin dipeluk?”
“Ya…”
“Peluklah dirimu sendiri, nak. Kamu pantas dipeluk. Kamu pantas dimengerti.”
Aku memeluk diriku sendiri lebih erat. Untuk pertama kalinya aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Seperti suara yang selama ini hilang akhirnya kembali.
Aku membuka mata, menatap buku catatan kosong di meja. Tiba-tiba muncul dorongan untuk menulis. Kutulis perlahan dengan tinta biru:
Aku ingin sembuh.
Tanganku gemetar. Kutulis lagi:
Aku ingin ada seseorang yang bisa kuajak bicara tanpa takut dihakimi. Seseorang yang bisa mendengar tangisku, bukan memarahiku karena air mataku. Seseorang yang membuatku merasa hidup, bukan sekadar bertahan.
Aku berhenti sejenak. Kata-kata itu terasa seperti doa. Doa yang lahir dari luka, tapi juga dari kerinduan.
Aku menarik napas panjang. Untuk pertama kalinya aku mengakui pada diriku sendiri bahwa aku terluka. Bahwa aku butuh sembuh. Bahwa aku juga manusia yang pantas dicintai, pantas dimengerti—meski aku merasa seperti mesin yang tak berfungsi.
Aku menatap bayangan wajahku di permukaan meja. Mata yang bengkak karena tangis, tapi di baliknya ada sesuatu yang baru. Ada secercah keberanian kecil untuk mengakui diriku sendiri.
“Ya Allah…” aku berdoa dalam hati, “kalau aku tidak bisa seperti mereka, tolong izinkan aku belajar menerima diriku. Tolong sembuhkan luka yang sudah terlalu lama kupendam. Tolong ajari aku untuk memeluk diriku sendiri. Tolong bantu aku menemukan arah.”
Aku menunggu sejenak. Tentu tidak ada jawaban langsung. Ruang kosong itu tidak sepenuhnya menenangkan—masih ada bagian diriku yang gelisah, masih ada rasa takut. Tapi untuk pertama kalinya, ada juga bagian kecil yang ingin percaya: mungkin aku bisa sembuh, meski jalannya panjang.
Malam semakin larut. Aku mematikan ponsel, memutuskan untuk tidak lagi menatap kebahagiaan orang lain yang hanya membuatku semakin terbenam. Aku rebahkan kepala di atas meja, lalu berbisik pelan,
“Untuk sekali ini… izinkan aku menjadi anak kecil. Izinkan aku merasa aman. Izinkan aku percaya bahwa aku bukan mesin yang gagal.”
Dan dalam doa itu, aku menemukan setitik cahaya. Bukan penyelesaian, bukan kebahagiaan instan, tapi secercah harapan bahwa suatu hari nanti, aku akan sembuh.
Bahwa luka ini, meski dalam, bukan akhir dari segalanya. Bahwa meski aku sedang menganggur, meski aku merasa rusak, aku tetap manusia. Dan manusia selalu bisa belajar berjalan lagi.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Postingan Populer
Surat Doa: Ya Allah, Jangan Biarkan Aku Hilang Arah
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar