Cari Blog Ini
Catatan seorang pejalan yang belajar memasrahkan segala cerita hidup pada Sang Pemilik Waktu. Tentang hujan, rindu, kegagalan, dan syukur yang berujung pada ketenangan
Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Diujung Penyesalan
Akhir-akhir ini langit selalu terlihat mendung, hampa, dan putus asa. Mungkinkah langit sedang berempati padaku? Heh, senyum kecut mungkin pas untuk mejawabnya. Lucu memang, alam selalu punya cara bagaimana ia harus bertindak, bahkan jika harus menyerang dirinya sendiri. Mengkhianati dan dikhianati, kedua kata itu yang mungkin saling bergulat disekelilingku sekarang. Bagaimana mungkin semesta bisa begitu membenciku, setidakpantas itukah aku dicintai, apa sekejam itu diriku? Ah, sial, kenapa air mata ini yang harus selalu muncul sebagai jawaban dari semua pertanyaan itu, tidak bisakah ia berempati sedikit saja dengan mata bengkak yang perih ini? Dan untuk seluruh organku, tidak bisakah diajak sedikit berkompromi untuk menghentikan sementara penyiksaan yang amat pedih ini? Dan paru-paru ini, tidak bisakah ia mengizinkan sedikit saja oksigen masuk tanpa memberikan rasa sakit yang amat menyiksa? Aku ingin bernafas seperti semula, berlari di antara rumput hijau di taman, berjalan menyusuri hutan-hutan lindung yang menenangkan, mengambil gambar-gambar alam dengan kamera yang selalu aku genggam, aku ingin hal itu, merasakan semilir angin lembut yang menerbangkan rambut panjangku yang kini sudah hilang. Bukan seperti ini, merasakan pedihnya penyiksaan dan menemui ajal secara perlahan.
Entah apa yang selanjutnya akan terjadi, aku hanya bisa pasrah dengan penyakit yang berkhianat ini. Lupus. Penyakit dimana sistem imun malah menyerang organ tubuhku sendiri. Untuk kesekian kalinya aku berfikir, mungkinkah ini balasan semesta karena aku telah mengkhianati dia, seseorang dari masa lalu yang dengan sengaja kugores luka di dadanya. Jika memang benar, maka tolong, ijinkan aku bertemu dengannya sebelum ajal sepenuhnya telah sampai, ijinkan aku menemuinya meski hanya untuk mengucap maaf. Aku tidak akan mengeluh lagi setelah itu, aku akan menikmati semua penyiksaan menyakitkan ini dengan senyuman dan keihklasan, tapi tolong biarkan beban menyesakkan itu bebas dulu, aku ingin meminta maaf.
Deritan pintu yang dibuka berhasil memecah keheningan yang tercipta di ruangan suram ini, “Nay, sarapan dulu yah, gue udah buatin bubur kesukaan lo,” Rania, Kakak perempuanku, datang dengan nampan berisi semangkuk bubur yang ia simpan di atas nakas di samping pembaringan, lalu berjalan kearah kursi rodaku yang tengah menghadap ke jendela luar.
“Lo nangis lagi, sebegitu menyakitkankah?” tanyanya, bersimpuh di depanku yang masih menatap kosong keluar sana dengan punggung bersandar tak berdaya pada kursi roda, aku merasakan getar dalam suaranya.
“Asal lo tahu, Nay. Jika saja mungkin, gue mau kok gant—“
“Berehenti bilang gitu Ran, gue gak mau dikasianin.” Tukasku datar, aku tahu hal bodoh apa yang akan dikatakan wanita itu. dan aku cukup tahu bahwa ucapan adalah do’a, jika saja ucapan itu menjadi kenyataan, maka aku hanya akan hidup dalam kepedihan dan penyiksaan yang lebih menyakitkan dari ini.
Dia mengusap bulir bening yang mengalir bebas di pipinya. Sebelumnya aku tidak pernah melihat wanita yang kadang menyebalkan itu, menangis seperti ini di hadapanku yang malah membuat dadaku bertambah sesak. Aku mengalihkan pandanganku ke samping, menghindarinya, membiarkan lagi dan lagi air mata itu jatuh.
“Sudahlah, gimana, udah berhasil nemuin Radit?” Tanyaku, mengusap bulir di pipi, mencoba mengendalikan emosi, dan berujar setegar mungkin.
Sekali lagi dia mengusap pipinya yang basah, kembali menatapku dengan tatapan sendu, “Maafin gue Nay. Radit… gue ketemu sama dia, tapi.. dia…” wanita itu diam beberapa detik dengan kalimat yang menggantung, menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan, “Ah, sudahlah, lo harus makan dulu, setelah itu istirahat, dan gue bakalan liatin vidio terbaru dari Univ lo di jerman nan–“
“Ran, plis, sekarang gue gak butuh vidio Univ itu lagi, dan gak peduli meski disana gue bakal sekelas sama anggota boyband keren itu, yang gue butuh sekarang Radit, cuman dia. Lo tahu, umur gue gak bakalan lama lagi, dan semua mimpi ataupun cita-cita apapun itu, yang dulu menjadi prioritas dan segalanya, sekarang gue gak butuh semua itu lagi, hanya soal waktu tanah merah menjadi pembaringan ternyaman gue kelak, Ran.”
“Kenapa lo ngomong kayak gitu? Lo bakalan sembuh, Inget!” Rania berseru tegas, matanya yang bengkak kembali meluncurkan butiran bening itu lagi.
“Berhentilah lari dari kenyataan dan menipu diri sendiri seperti itu. Sudahlah, sekarang katakan apa yang terjadi dengan Radit, dia bilang apa?”
Rania lagi-lagi hanya menatapku dengan tatapan sendu tanpa suara. Lalu beranjak mendorong kursi rodaku ke tempat diletakannya bubur tadi.
“Ran, Plis!” aku kembali memohon ketika ia membantuku mendudukan diri yang terasa ngilu ke tempat tidur pasien. Wanita itu duduk disampingku, dan meraih bubur yang diambilnya tadi, masih dengan mulut yang membisu.
“Ran, tolong!”
Wanita itu masih tidak menghiraukan, mulai menyendokkan buburnya dan mengarahkannya tepat di depan bibirku, “Buka mulut!” serunya dingin.
Sikapnya ini benar-benar membuatku kesal. Dengan terpaksa, aku mengenyahkan sendok itu hingga terpelanting ke lantai yang diikuti suara dentingan. Rania membulatkan matanya, menatap tajam ke arahku.
“Apa Ran? Udah gue bilang kan, gue gak butuh semua itu, seberapapun gue makan, minum obat, jalanin trapi, gak bakalan merubah kenyataan kalo gue kena lupus, penyakit yang gak bisa disembuhin, bahkan dokter udah mendiagnosa kalo umur gue gak lebih dari 3 bulan lagi, ngerti!”
“Itu hanya diagnosa—“
“Sama aja, pada kenyataannya manusia bakalan mati, dan gue gak mau semua terlambat, selagi masih ada kesempatan, maka biarin gue gunain kesempatan ini sebaik mungkin, tolong katakan.”
Sepersekian detik Rania diam dan tampak berfikir, kemudian mulutnya mulai bergerak, “Baiklah, tadi gue ketemu Radit. Tapi Radit.. dia bilang.. dia.. dia gak mau ketemu sama lo, dan… dia.. dia gak peduli jika lo..” Rania kembali menggantungkan kalimatnya, matanya terpejam dan air mata kembali mengucur, “Dia brengsek, Nay! Lo gak pantes perjuangin dia seperti itu!”
Mendengarnya, aku hanya bisa diam. Ya, tentu saja Radit tidak salah mengatakan hal itu, aku yang salah, aku yang memulainya, ini semua salahku, aku tidak pantas menerima maaf darinya.
Ketika itu langit begitu cerah, gelak tawa dan sorak sorai terdengar saling bersahutan di antara kerumunan siswa yang tengah menatap takjub atraksi skeat board di depan sana.
“Nay, lihat deh dari tadi si Radit liatin lo mulu. Lo jadian sama si kuper itu?”
“Nay, gue tahu, si Radit emang lumayan cakep sih, tapi dia itu kuper, gak gaul. Dan, ehm, maaf ya, kalo menurut gue dia itu cupu!” gelak tawa kembali terdengar di antara mereka, tawa merendahkan.
“Tapi entah ya, mungkin menurut Anaya, Radit itu pangeran berkudanya yang tampan dan gagah!” dan lagi-lagi tawa merendahkan itu kembali memenuhi udara..
“Aapaan sih, mana mungkin gue pacaran sama Radit, ih mit amit, gue mikir-mikir juga kali!” jawaban penuh kedustaan itu akhirnya keluar dari mulutku, aku memang pacaran dengan Radit, dan hubungan kami sudah bertahan 2 bulan saat itu, tapi aku tidak mencintainya, aku hanya berniat untuk memanfaatkannya. Dia anak orang kaya, dan apapun barang-barang yang kuminta selalu ia berikan, selain itu dia juga terlahir dengan otak yang brilian, aku bisa memintanya mengerjakan tugasku kapan pun aku mau, dan mungkin itulah latar belakangku menjadi juara kelas kedua di kelas sebelas.
Ya, awalnya aku memang tidak mencintainya, tapi perlahan rasa nyaman itu hadir dan ntah sejak kapan aku mulai merasakan kebahagiaan ketika bersamanya. Namun, karena kebodohan dan gengsiku akibat teman-teman yang selalu membicarakan keburukan Radit, berhasil membuatku juga merasa elfeel kepada pria itu. Aku membencinya tanpa sebab, aku merasa jijik pada pria yang selama ini sudah membantuku. Teman-teman sering mencemoohku karena aku cukup dekat dengan Radit, dan itu sungguh membuatku merasa risi.
Hingga akhirnya, hari yang paling kusesali itu tiba, aku sengaja membuat Radit marah dengan menyiapkan bangku romantis bersama Dimas—pacar baruku yang menjadi leader pemain basket sekolah—di salah satu bangku kafe yang sering di datangi Radit, aku ingin Radit melihat bahwa aku berselingkuh dan lebih memilih Dimas dari pada dia.
Rencanaku berhasil, pandangan Radit langsung tertuju ke bangku kami, menyaksikan kami yang tengah tertawa ria dan saling menyuapi bolu. Tidak butuh waktu lama untuk Radit bergegas ke arahku dan menarikku keluar dengan dimas yang mengikuti kami dari belakang. Radit membawaku ke suatu tempat yang selama ini menjadi tempat khusus untuk kami bertemu dan menghabiskan waktu. Ketika itu, kelabu awan menjadi saksi atas berakhirnya hubungan kami, seakan semesta pun marah aku melakukan hal ini.
“Maksud semua ini apa, Nay?” tanyanya masih dengan suara khas penuh kelembutan.
“Apa lagi, semua udah jelas ‘kan?” Jawabku setenang mungkin, meski jantungku bergerumuh saat itu.
“Maksudmu?”
“Iya, aku pacaran sama Dimas, kenapa? marah? Gak terima?”
“Apa? Jangan becanda, Nay. Gak lucu!” jawabnya masih tetap lembut, meski aku mendengar kekhawatiran dalam suaranya.
“Ngelucu? Buat apa?” aku tersenyum miring, “Dit..dit, harusnya lo itu nyadar kalo selama ini gue cuman manfaatin lo doang. Ah, miris banget ya hidup lo, lo pikir gue bakal suka sama lo yang cupu kaya gini, kuper, setiap hari cuman bergulat sama buku dan laptop, lo itu kaku, gak pantes sama gue, sadar dong! Cih, menjijikan, tau gak!” aku meludah ke samping. Dan Radit hanya menatapku tak percaya.
Sebelum Radit kembali berucap, Dimas yang berdiri tak jauh di belakangku menghampiri dan merangkul bahuku, “Heh Cupu! Ngaca dong, lo itu gak ada apa-apanya dibanding gue, wajarlah Naya lebih milih gue dari pada lo, noh pacaran aja sama pohon!” ucapnya.
“Ah, ayo yank, kita pergi, ngapain ladenin si cupu, gak ada gunanya!” Seru Dimas, membawaku pergi meninggalkan Radit yang hanya berdiri tanpa suara.
“Katakanlah sesuatu, Nay! Jangan nangis! Buat apa lo nangis karena pria brengsek kayak dia,” ucapan Rania berhasil menyadarkanku. Dia memelukku erat, dan aku masih bergeming tanpa suara, merasakan butiran itu jatuh lagi dan lagi dari mataku.
***
Dua bulan lebih sudah kulewati sejak hari dimana Rania menyampaikan hal menyakitkan itu, hanya tinggal 14 hari lagi, dan semua akan selesai. Aku sudah melalui dua bulan lebih itu dengan siksaan yang semakin bertambah, indra penglihatanku sudah hilang sekarang. Rania bilang kulitku melepuh, dan tubuhku hanya bersisa tulang, alat pengecapku sudah tidak berfungsi lagi, hanya hidung yang itupun dibantu berbagai alat yang tak kumengerti, penyakit ini membunuhku secara perlahan. Tapi aku sungguh menikmatinya, biarlah siksaan ini menghampiriku sebagai balasan atas sebagian kesalahanku yang teramat banyak, aku tidak peduli meski tak jarang rasa sakit itu membuatku memohon agar Tuhan mencabut saja nyawaku detik itu juga. Kini aku hanya bisa terbaring tak berdaya, menunggu hari dimana kain putih menjadi bajuku satu-satunya.
Suara monitor yang memberlihatkan detak jantung menjadi satu-satunya melodi yang memenuhi ruangan ini, gelap, sunyi, mungkin itulah keadaan kamarku sekarang, tak jauh berbeda dengan jiwaku.
Lamat-lamat aku mendengar dua orang yang saling berbicara pelan, kemudian terdengar suara deritan pintu yang terbuka, dan derap langkah yang menuju ke arahku.
“Lihatlah, Adik kecilku yang manis ini tengah tertidur,” suara lembut Rania yang bergetar hebat terdengar.
“Kau bicaralah dengannya, dia pasti bisa mendengar, dokter bilang organ pendengarannya masih berfungsi,” lanjut wanita itu yang kuyakini sudah menangis. Derap langkahnya yang tergesa menuju pintu keluar kembali terdengar. Wanita itu menjadi cengeng akhir-akhir ini, aku sungguh ingin menghapus air matanya, tapi aku tak berdaya.
Ruangan kembali hening ketika Rania keluar, seakan tak ada seorang pun di sampingku. Hingga sesaat, suatu tangan mengusap lembut jemariku, dan sepersekian detik kemudian sebuah suara bergetar yang sangat pelan berhasil memenuhi indra pendengaranku, suara itu begitu pelan bahkan menyerupai bisikan, tapi ia berhasil mengguncangku.
“Nay, ini aku” tuturnya lembut, itu suara yang selama ini begitu kurindukan, tidak berubah sama sekali, masih tetap lembut dan penuh kedamaian.
“Maaf, aku terlambat menjengukmu, maafkan aku, Nay, maafkan aku.” Oh, Ya Tuhan, dia menangis, andai saja aku bisa menggerakan mulutku, aku akan mengatakan bahwa aku yang salah, aku benar-benar brengsek. Andai aku bisa, aku ingin melihatnya, menghapus air matanya, dan bersimpuh meminta maaf kepadanya.
“Apa yang terjadi, Nay? Kamu harus kuat, kamu harus bertahan. Aku benar-benar minta maaf karena menolakmu saat untuk pertama kali kakakmu datang dan memberi tahu kondisimu. Saat itu, aku masih sakit hati, aku marah. Kamu tahu Nay, setelah hari itu, hari saat tuturan menyakitkan itu keluar dari mulutmu, aku sungguh hancur, aku tidak tahu harus bagaimana, rasanya semua terlihat sia-sia dan tidak berguna, bahkan aku membenci diriku sendiri karena tidak bisa menjadi pria yang kamu cintai. Setelah hari itu, aku benar-benar sendiri, meskpun sindy datang dan mencoba mengganti posisimu, tapi tidak bisa, Nay, semua sia-sia. Posisimu di hidupku tidak bisa tergantikan dengan mudah. Aku masih mencintaimu hingga detik ini.” Kini suara bergetar dan lembut itu berhasil mengoyak perasaanku, membuatku semakin sesak.
“Ah, tidak, tidak. Jangan menangis malaikatku, jika kamu berniat meminta maaf, aku sudah memaafkanmu jauh-jauh hari. Aku tahu Nay, ini bukan salahmu seutuhnya. Aku tahu, saat itu kamu tidak ingin mengatakan hal itu padaku, hanya saja kondisi yang memaksamu untuk mengatakannya, aku tahu bagaimana kamu terus dipermalukan di depan taman-temanmu ketika menyadari kedekatan kita, aku tahu bagaimana sulitnya berada di posisimu saat itu, dan aku memakluminya. Dan ketika kamu menuturkan hal menyakitkan itu, aku bisa melihat tanganmu yang bergetar hebat, begitupun dengan bibirmu, bahkan matamu juga menahan tangis, aku melihat semua itu, juga ketika Dimas merangkulmu, aku melihat gestur tubuhmu yang tidak nyaman saat itu, dan ketika Dimas mengataiku, aku bisa melihat kemarahan dimatamu pada Dimas, bahkan ketika Dimas membawamu pergi meninggalkanku, aku melihat langkah kakimu yang kaku saat itu. Aku menyadari semuanya, Nay. Sekali lagi, aku minta maaf karena tetap berpihak pada emosi dan kemarahanku, aku minta maaf, Nay.”
Radit, mengusap air mataku yang jatuh, lalu membelai pipiku lembut, “Aku merindukanmu, Nay. Aku akan selalu ingat semua hari-hari indah itu dalam memoriku. Bagaimana saat bibir ini tersenyum dan tertawa, bagaimana saat mata indahmu menatap takjub langit-langit biru, bagaimana rambut panjangmu yang hitam dan indah bergerak anggun diterbangkan angin, aku akan ingat semua itu, Nay. Bahkan, kau tahu, sekarang ruang lukisku sudah penuh dengan lukisan wajahmu, aku tidak akan melupakanmu, tidak mudah mengganti posisimu di hidupku, percayalah, kamu salah satu sumber kebahagiaanku.”
“Kamu tahu, Nay. Jika memungkinkan, bangunlah dan sembuh, kita habiskan waktu bersama lagi.”
Saat ini aku benar-benar senang, beban berat yang menyiksaku dan menyesakkan telah hilang, dan sekarang aku sungguh ikhlas dengan apapun yang akan Tuhan tetapkan kepadaku, aku akan menerima semuanya.
created by: Nisa Nurmillah
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Postingan Populer
Surat Doa: Ya Allah, Jangan Biarkan Aku Hilang Arah
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar