Langsung ke konten utama

Unggulan

Surat Doa: Ya Allah, Jangan Biarkan Aku Hilang Arah

 Ya Allah… Di hari-hari yang terasa hampa ini, aku datang kepada-Mu dengan hati yang gemetar. Aku tidak tahu harus berbuat apa, tidak tahu harus mulai dari mana. Aku merasa kosong, kehilangan semangat, kehilangan arah — dan di antara semua kehilangan itu, aku paling takut kehilangan diri dan kepercayaanku pada-Mu. Ya Allah, aku tahu Engkau Maha Melihat. Engkau tahu betapa lemahnya aku sekarang, betapa sulitnya aku untuk bangun, untuk berpikir jernih, untuk melangkah lagi. Terkadang aku merasa seperti beban bagi dunia, seperti tidak ada yang membutuhkan kehadiranku. Tapi jauh di lubuk hatiku, aku tahu — Engkau tidak pernah menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Dan itu termasuk aku. Maka Ya Rabb, tolonglah aku yang sedang kehilangan cahaya ini. Bimbing aku untuk kembali mengenal-Mu dengan lembut, agar hatiku tenang dan pikiranku kuat kembali. Jangan biarkan rasa takutku membuatku berhenti berjuang. Jangan biarkan rasa malas menutupi niat baik yang masih ada di hatiku. ...

PART 1: Rindu, Gagal, dan Jalan Pulang

 Hari ini hujan kembali turun. Awan kelabu menaungi desa kecil ini, menghadirkan suasana yang sama seperti dulu—seakan menarikku kembali pada kenangan sendu di masa lalu. Entahlah, perasaan sedih, nyaman, dan sendiri berkumpul, membentuk melodi rindu. Inikah yang disebut rindu? Aku pun tak tahu pasti apa yang sebenarnya kurindukan. Mungkin aku merindukan masa itu: ruang kelas yang temaram, gemuruh hujan di balik jendela, nyanyian teman kecil, orang-orang itu, dan Dia. Aku merindukannya.

Mungkinkah waktu bisa diputar kembali? Ataukah masa depan, yang entah bagaimana rupanya, perlahan akan menyeretku tenggelam dalam lamunan lain? Pondok pesantren, suara lantunan tadarus santri, peran kepala madrasah… entah bagian mana yang kurindukan. Bolehkah jika aku merindukan masa lalu sekaligus masa depan?

Suasana hujan ini pun membawa ingatanku pada fantasi-fantasi fiksi. Novel Hujan karya Tere Liye, juga kisah Selena dalam serial Bumi. Rupanya, aku merindukan dunia imajinasiku juga.

Namun waktu tak berhenti. Hari demi hari terus melaju, dan aku bertanya-tanya: apa yang menungguku esok, lusa, dan seterusnya? Aku masih ingat betul saat dunia digemparkan oleh datangnya virus Covid. Kala itu, aku sedang mempersiapkan ujian sekolah dan ujian nasional yang tiba-tiba dibatalkan. Betapa senangnya aku waktu itu. Tapi ternyata, kebahagiaan itu justru menjadi awal dari ketidaknyamanan. Ya, aku merindukan teman-temanku.

Hari berganti, hingga tibalah saat aku harus belajar mati-matian untuk persiapan UTBK. Pagi, siang, sore, malam—kepalaku dijejali berbagai teori yang semrawut, tak beraturan. Meski begitu, aku menikmatinya. Dan di saat itu juga aku sadar, betapa ruginya aku selama duduk di bangku SMA karena tak benar-benar memahami materi pelajaran. “Mengapa baru sekarang?” begitu pikirku kala itu. Aku menyesal. Sangat menyesal. Karena waktu yang tersisa terlalu sedikit, belajarku tak lagi sistematis. Semua serba kacau, hingga banyak materi yang tak sempat kukejar sebelum hari ujian.

Tibalah di H-2 UTBK. Aku dan Bapak berangkat ke Bandung, tepatnya ke UPI. Kami menumpang mobil adik dari nenekku yang kebetulan sedang pulang kampung. Sehari sebelum berangkat, pamanku datang memperkenalkan calon istrinya—yang kini telah resmi menjadi istrinya. Ia sempat memberiku uang jajan 200 ribu.

Perjalanan ke Bandung terasa sunyi. Bapak berusaha mencairkan suasana dengan mengajak Ambu (adik nenekku itu) berbincang, tapi sambutannya hambar, seperti angin lalu. Bapak akhirnya memilih diam. Saat itu, untuk pertama kalinya Bapak punya ponsel android—pemberian dari paman pertamaku, katanya. Sepanjang jalan, beliau hanya menggeser-geser layar telepon sambil duduk membungkuk. Kami duduk di jok belakang, keberadaan kami nyaris tak diperhatikan.

Di tengah perjalanan, Ambu sempat menepikan mobil di salah satu toko tas kulit untuk berbelanja. Sesampainya di rumahnya di Buah Batu, kami makan bersama lalu beristirahat di lantai atas. Saat di meja makan, aku bertemu dengan seorang pemuda—lebih tua dariku. Aku tak tahu siapa namanya dan siapa dia sebenarnya, tapi dari logat bicaranya jelas ia anak kota Bandung, dengan gaya khas yang elit.

Keesokan paginya, aku bersiap-siap. Degup jantungku semakin kencang. Hari itu adalah ujian.

Aku berangkat menuju gedung ujian sendiri. Bapak hanya berkata, “Bapak tunggu di masjid.” Ada rasa gugup yang tak bisa kutahan. Takut jika soal-soal itu tak mampu kuselesaikan, takut jika segala usaha yang kulakukan sia-sia.

Sesampainya di gedung, panitia memintaku menunggu di luar karena beberapa dari mereka belum masuk. Aku duduk di atas bata yang terletak di depan gedung itu, sendirian. Angin Bandung yang sejuk justru membuatku semakin gelisah.

Hingga tiba-tiba seseorang menyapaku. Seorang gadis seumuran denganku, dengan senyum ramah yang membuat hatiku sedikit tenang. Ia mengajakku berbicara. Kami berdiskusi banyak hal—tentang sekolah, persiapan, bahkan sedikit tentang mimpi. Perbincangan singkat itu terasa begitu hangat. Dalam hati, aku sadar: dialah tipe teman yang selama ini kuharapkan. Seseorang yang sederhana, tetapi mampu menenangkan.

Tak lama, panitia memanggil kami masuk. Aku menghela napas panjang, lalu melangkah masuk ke ruangan ujian. Suasana hening. Hanya bunyi kertas dan ketikan keyboard laptop yang terdengar. Aku berusaha fokus, meski kegugupan masih membayang. Aku tidak tahu apakah jawabanku benar atau salah, tapi aku berusaha sekuat tenaga.

Waktu berjalan cepat. Ujian pun selesai. Keluar dari gedung itu, aku menatap langit Bandung yang mulai cerah. Entah bagaimana, perasaan lega menyelinap di antara rasa khawatir.

Aku kembali ke masjid, tempat Bapak menungguku. Kami pun pulang bersama. Perjalanan pulang terasa berbeda—masih ada kecemasan tentang hasil ujian, tapi ada juga kehangatan kecil dari pertemuan singkat dengan gadis ramah itu. Seperti sebuah pengingat bahwa hidup bukan hanya tentang ujian dan hasil, tetapi juga tentang momen-momen kecil yang memberi arti.

Komentar

Postingan Populer