Cari Blog Ini
Catatan seorang pejalan yang belajar memasrahkan segala cerita hidup pada Sang Pemilik Waktu. Tentang hujan, rindu, kegagalan, dan syukur yang berujung pada ketenangan
Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
PART 2: Rindu, Gagal, dan Jalan Pulang
Beberapa minggu kemudian, pengumuman UTBK tiba. Hatiku berdebar kencang saat membuka hasilnya. Perasaan yang muncul bukan hanya kecewa biasa — aku tidak lolos. Gelap sejenak menyelimuti pikiranku. Sedih itu datang seperti hujan yang tak kunjung reda; hampir membuatku putus asa. Semua kerja keras, semua malam-malam yang kulewati dengan kepala penuh teori, terasa seperti runtuh begitu saja.
Keputusan untuk tidak menyerah muncul, tapi kenyataan finansial segera menabrak. Mendaftar secara mandiri ke kampus impian terasa mustahil karena biaya yang tinggi. Aku sempat mencoba jalur mandiri UPI; kabar baik datang—aku dinyatakan lolos. Tapi kegembiraan itu berubah mendesah ketika kutahu biaya masuknya mencapai tiga puluh juta. Mana mungkin keluargaku menanggung jumlah sebesar itu. Harapan yang sempat terbit kembali padam karena angka di depan mata tak bisa kuseberangi.
Di saat hampir menyerah, sebuah informasi terakhir mengetuk pintu. Ada pendaftaran di UIN Bandung. Tanpa pikir panjang, aku memilih mendaftar ke jurusan Biologi. Pilihan ini bukan semata demi tempat; Biologi selalu menarik hatiku. Bagiku, biologi adalah ilmu yang multidisiplin — ada sentuhan matematika, kimia, bahkan fisika di dalamnya. Ia terasa seperti rumah untuk rasa penasaranku yang luas.
Pengumuman pun keluar. Kali ini, namaku tercantum. Aku dinyatakan lolos. Dadaku sesak oleh rasa syukur yang tak terkira; ada kelegaan yang hangat mengalir sampai ke ujung-ujung tulang. Ternyata, tidak lolos UTBK bukan akhir dunia. Momen itu membuatku sadar bahwa kegagalan dan jalan pintas yang tak terjangkau kadang mengarahkan kita pada sesuatu yang lebih sesuai — sesuatu yang selama ini sebenarnya kita dambakan.
Aku termenung mengingat pilihan yang kuambil saat UTBK dulu. Kala itu aku memilih Pendidikan Matematika karena memang itu sesuai minat. Namun ada juga pilihan lain: Arsitektur — sebuah keputusan yang, pada akhirnya, terasa sangat melenceng. Aku tak pandai menggambar, dan memilihnya lebih karena kebingungan atau tekanan dari luar daripada suara hati sendiri. Kini kutertawa getir memikirkan betapa konyolnya mencoba memaksakan sesuatu yang bukan untukku.
Perjalanan setelah pengumuman itu tidak langsung mulus. Ada tugas administratif, adaptasi dengan teman-teman baru, dan kekhawatiran-kekhawatiran kecil yang terus menghampiri. Namun ada sesuatu yang berubah dalam diriku: keyakinan kecil bahwa jalan hidup tak selalu lurus. Ada belokan yang, meski menakutkan, kadang menuntun pada pemandangan yang jauh lebih indah.
Di kamar kos yang sederhana, di sela-sela malam ketika hujan kembali turun, aku menulis kembali perlahan tentang harap dan rasa. Aku menyadari bahwa rindu yang dulu kurasakan — pada masa sekolah, pada teman, pada ruang kelas yang temaram — bukan hanya soal masa lalu. Ia juga tentang kerinduan pada kemungkinan: belajar, bertumbuh, dan menemukan versi diri yang lebih jujur.
Kini aku melangkah ke dunia biologi dengan tangan yang sedikit gemetar tetapi dengan hati yang lebih tenang. Aku bukan lagi gadis yang duduk di atas bata menunggu panggilan masuk ujian. Aku adalah seseorang yang pernah gagal, lalu bangkit, dan memilih jalan yang sejalan dengan rasa ingin tahunya. Entah apa yang menunggu di depan, aku belajar mempercayai proses: bahwa setiap hujan, setiap panjangnya malam, punya cara sendiri untuk memperkaya cerita hidupku.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Postingan Populer
Surat Doa: Ya Allah, Jangan Biarkan Aku Hilang Arah
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar