Cari Blog Ini
Catatan seorang pejalan yang belajar memasrahkan segala cerita hidup pada Sang Pemilik Waktu. Tentang hujan, rindu, kegagalan, dan syukur yang berujung pada ketenangan
Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Anyelir di Atas Nisan
Seusai hujan membasahi bumi selama kurang lebih tiga puluh menit, kulangkahkan kakiku menuju pemukiman yang begitu nyenyak, penuh ketenangan. Semerbak aroma petrichor mendominasi indera penciumanku. Langkah kakiku begitu berat dan lemah, laksana tiada buntara mengepal tubuh. Hembusan angin semilir melambaikan jilbab navy yang terjuntai hingga pergelangan tanganku. Sebuket bunga anyelir putih kian kudekap di depan dada, berharap situasi dalam hati tak cepat menjelma menjadi sebuah keterpurukan dan lara.
Beberapa langkah lagi aku akan sampai pada seseorang yang kurang lebih selama tiga tahun senantiasa kusebut namanya dalam setiap bait-bait doa. Beberapa langkah lagi, untuk pertama kalinya ku kuatkan diriku, ku kokohkan kakiku untuk menemuinya setelah satu tahun lamanya tidak berjumpa. Bukan waktu yang singkat bagiku untuk menabung rasa kuat dan tegar yang di kemudian hari akan kutukar dengan sebuah pertemuan. Hari itu adalah hari ini, hari di mana tepat satu tahun yang lalu adalah pertemuanku dengannya untuk terakhir kali.
Gemuruh jantungku tak dapat kuatur agar lebih stabil dan tenang. Saliva tercekat, aku tercekik, tenggorokan terasa begitu gersang, serta lidahku begitu kelu. Sesak di dada membuatku menghentikan langkah untuk seperkian detik lamanya. Kedua netraku mulai memanas, tanganku gemetar, langkah kakiku semakin lemah. Kupukul pelan dadaku, berharap rasa sesak hilang membersamai lembayung senja yang mempercepat dirinya untuk hadir melengkapi suasana hati yang nestapa. Air mata tak dapat terbendung lagi. Aku terisak penuh kesakitan.
Tubuhku ambruk, kedua kakiku tak dapat menopang tubuh yang biasa mereka sebut mungil. Aku bersimpuh lemah di depan gundukan tanah berlapis rumput laksana karpet hijau dengan sebuah batu nisan marmer yang terukir sebuah nama, ‘Raifan Kafathan’. Nama yang senantiasa kusebut sebagai pintaku kepada Allah, berharap kami dapat bersatu membangun sebuah hubungan sakral atas restu-Nya. Kurapalkan dalam bait doa, nama yang selama satu tahun ini dan seterusnya bergelarkan ‘Almarhum’.
Kuletakkan sebuket bunga anyelir putih kesukaan Kak Raifan dengan manis. Membayangkan ia tengah tersenyum menampakkan kedua lesung pipinya semakin membuat dadaku terasa sesak menghambat recaka, perutku seakan dihantam batu ribuan kali. Membuatku ingin beteriak sekeras mungkin, jika saja aku tidak sadar akan keadaan.
Aku mengusap lembut batu nisan berwarna hitam itu yang kemudian diikuti air mata yang mengalir tiada henti. Kuusap jejak air mata yang tergambar jelas di kedua pipiku. ‘Aku harus kuat,’ batinku berusaha menguatkan diri sendiri. Ku hembuskan nafas panjang kemudian menyempurnakan posisiku. Terlintas seberkas kenangan demi kenangan dalam mantikku.
Aku mengerang kesakitan setelah terjatuh dari sebuah kursi ketika hendak mengambil buku pada rak di bagian ujung atas. Tulang ekorku terasa sakit dibuatnya. Telapak tanganku memerah karena terbentur lantai dengan cukup keras, aku pun meniupnya pelan.
“Boleh saya bantu?” tanya seorang lelaki beralis tebal yang lengkungannya menyerupai busur panah. Aku mengangkat wajah memandang lelaki di hadapanku untuk waktu yang tidak sebentar. Tanpa sadar kau kerutkan dahi melihat dia mengeluarkan sebuah buku dan bukannya sebuah tangan untuk membantuku berdiri. Dia sedikit memiringkan kepalanya kemudian mengangkat sebelah alis memberi tanda bahwa tawarannya benar adanya. Kugenggam erat sisi buku yang lain, kemudian lelaki tersebut menarikku melalui buku tersebut. “Aku dan Garis Takdir,” gumamku merapalkan judul buku yang tengah digenggam lelaki yang baru saja membantuku.
Lelaki yang umurnya terpaut dua tahun di atasku itu melirik buku yang tengah digenggamnya kemudian bertanya, “Mau pinjam?”
“Ah, tidak. Terima kasih,” jawabku sopan sembari melempar sebuah senyuman.
“Untuk apa?” Dia kembali bertanya.
Aku kembali mengerutkan dahi karena tidak memahami pertanyaannya. “Terima kasih untuk apa?” lanjutnya karena tidak mendapat jawaban dariku.
“Oh, terima kasih karena sudah membantu saya,” kali ini aku memahami maksud pertanyaannya. “Dan terima kasih atas tawaran bukunya,” lanjutku memperjelas maksud ucapan terima kasihku padanya.
Lelaki tersebut mengangguk pelan setelah mendengar ucapanku. “Sudah sepatutnya sesama manusia harus saling membantu,” ujarnya, lalu meletakkan buku yang tadi ia genggam pada rak panjang dan tinggi di samping kami. “Saya permisi dulu,” pamitnya sopan.
“Mari,” balasku tak kalah sopan. “Ah, Kak, boleh minta bantuannya?” aku kembali bersuara setelah lelaki berkulit kuning langsat tersebut melangkah membelakangiku. Ia memutar badannya kemudian kembali mendekat.
“Raifan Kafathan,” ucapnya sembari tersenyum menampakkan barisan gigi sekaligus lesung di kedua pipinya, ‘Manis’ batinku. “Panggil saja, Raifan,” lanjutnya, memperkenalkan diri.
Ya, hari itu adalah hari di mana untuk pertama kalinya aku bertemu sekaligus berkenalan dengan Kak Raifan yang ternyata satu jurusan denganku, namun beda tingkatan semester. Perpustakaan universitas tempat kami menimba ilmu menjadi saksi bisu pertemuan kami berdua.
“Tentu saja boleh. Ingin kubantu apa?” Tanya Kak Raifan, mengubah obrolan menjadi lebih akrab.
Aku mengusap lenganku pelan, merasa tidak enak, kemudian dengan ragu menunjuk buku yang terletak pada rak bagian ujung atas. “Minta bantuan ambilkan buku itu.”
“Terima kasih,” ucapku sembari menganggukkan kepala pelan setelah Kak Raifan turun dari kursi dan mengulurkan buku yang kumaksud.
“Tidak,” jawaban singkat yang berhasil membuatku mengerutkan dahi untuk kesekian kalinya. Ia tertawa geli melihat responku atas jawabannya.
“Untuk kali ini akan kutukar ucapan terima kasihmu dengan nama.”
Aku melongo, menggaruk tengkuk yang tidak terasa gatal karena kembali tidak paham dengan apa yang baru saja Kak Raifan katakan. Kak Raifan kembali tersenyum, “nama kamu,” lanjutnya.
“Oh, iya. Nama saya-”
“Saya?” Kak Raifan memotong ucapanku dan kembali tertawa geli.
“Iya. Nama saya Khanza, pakai K. Panggil saja Anza.”
“Harus pakai K, ya?” Ia meletakkan jari-jari panjangnya pada dagu, kemudian kembali bertanya sebelum aku kembali membuka suara, “Khanza saja?”
“Khanza Azzahra,” jawabku lalu mengulurkan sebuah buku yang tadi diambilkan oleh Kak Raifan.
“Kalau begitu, aku panggil kamu Kha saja. Boleh?” katanya. Aku mengangguk mantap menyetujui panggilan yang diciptakan oleh Kak Raifan, lalu tersenyum menampakkan barisan gigiku. Kak Raifan menggenggam sisi buku yang lain kemudian menaik turunkannya ala berjabat tangan sembari tersenyum lebar.
Perkenalan singkat kami berdua menyimpan banyak benih-benih rasa dalam hati. Rasa suka, senang, dan rasa syukur kepada Allah karena telah mempertemukanku dengan lelaki seperti Kak Raifan. Hari demi hari berlalu, aku semakin sering bertemu dengan Kak Raifan di perpustakaan maupun di luar kampus. Kami berdua sering pergi bersama hanya untuk sekedar pergi ke toko buku, perpustakaan, maupun saling berkunjung ke rumah masing-masing.
Sesuatu yang tidak kalah menarik adalah kedua orang tua kami sudah saling mengenal. Paman Haris menjual sebidang tanah kepada ayah Kak Raifan melalui makelar yang merupakan teman Abi. Akhirnya Abi, paman Haris, dan ayah Kak Raifan mulai sering berkomunikasi dan bertemu untuk sekadar bercakap ria.
Tiga tahun telah berlalu begitu cepat, hubunganku dengan Kak Raifan masih tetap sama. Namun, lelaki yang tiga tahun lalu berkenalan denganku ini menjadi lelaki yang aku harapkan agar menjadi imam pembimbingku. Nama Kak Raifan senantiasa kusebut, kupinta, kumohon ridho-Nya agar menjadi imam rumah tangga yang kuimpikan sejak lama. Manusia memang boleh berencana, namun Allah yang akan menentukan jalan kehidupan mereka. Aku tidak pernah mengungkapkan maupun mengutarakan rasa yang sudah tiga tahun lamanya bersemayam di hati kepada Kak Raifan. Aku tidak tahu bagaimana Kak Raifan memandangku, dan bagaimana perasaan Kak Raifan terhadapku. Biarlah takdir Allah yang akan menjawab setiap bait-bait doaku.
Pagi yang beku diselimuti gumpalan awan hitam menyambut hari kelulusanku bersama toga serta mortarboard yang kukenakan. Kulangkahkan kakiku penuh antusiasme menuju ruang megah yang telah terisi ribuan mahasiswa dari berbagai fakultas dan jurusan. Aku duduk di kursi pada nomor yang sesuai dengan fakultas dan jurusanku. Sudah sekitar satu jam tiga puluh menit aku menunggu namaku disebut untuk menaiki panggung megah di hadapanku.
Ponselku di saku togaku bergetar, ada sebuah panggilan dari Umi. Aku menjauh dari keramaian agar bisa mendengar suara Umi dari seberang. Beberapa menit kemudian tubuhku ambruk, kepalaku pusing, telingaku berdengung begitu mendengar kabar dari Umi bahwa Kak Raifan kecelakaan di jalan ketika hendak menuju kampus untuk menemuiku di hari kelulusan. Nyawa Kak Raifan tidak terselamatkan. Hari yang redup karena mendung, hari yang tadinya membahagiakan karena kelulusanku, berubah menjadi hari yang berkabung bagiku.
Begitulah akhir dari hubungan antara aku dan Kak Raifan. Aku tidak pernah tahu dengan perasaan Kak Raifan terhadapku. Begitu pun dengan Kak Raifan, tidak pernah mengetahui perasaanku terhadapnya. Hanya aku, Umi dan Allah yang tahu perihal perasaanku terhadap Kak Raifan. Cinta dalam diam yang senantiasa kujaga berakhir karena takdir berupa kematian.
“Sudah mulai petang, Kha,” suara seseorang berhasil menghancurkan seberkas kenanganku bersama Kak Raifan menjadi kepingan kecil yang kemudian pupus ditelan senja.
“Kau di sini?” tanyaku dengan suara yang serak. Hanya sebuah deheman pelan yang kuterima dari tunanganku, Ajri, yang kini tengah berdiri di sampingku.
Aku beranjak setelah mengusap batu nisan Kak Raifan yang terasa dingin untuk kesekian kalinya. Tiba-tiba pandanganku mengabur, kepalaku terasa begitu pening, tubuhku sempoyongan, dan hanya kegelapan yang kini dapat kulihat.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Postingan Populer
Surat Doa: Ya Allah, Jangan Biarkan Aku Hilang Arah
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar