Cari Blog Ini
Catatan seorang pejalan yang belajar memasrahkan segala cerita hidup pada Sang Pemilik Waktu. Tentang hujan, rindu, kegagalan, dan syukur yang berujung pada ketenangan
Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Sepi di Balik Keramaian: Curhatan yang Tak Pernah Tersuarakan
Aku selalu iri melihat kehidupan orang lain di media sosial. Betapa ramainya mereka, betapa banyak komentar hangat yang mampir di setiap postingan, betapa mereka seperti punya lingkaran yang siap memberi dukungan kapan pun. Aku? Bahkan ketika aku unggah foto, hampir tidak ada yang merespons. Kadang hanya satu-dua orang, itu pun sekadar jempol tanpa kata. Sisanya hening, sepi, seperti aku tidak benar-benar ada.
Aku tahu media sosial tidak selalu menggambarkan kenyataan. Tapi tetap saja, perasaan tertinggal itu nyata. Aku melihat orang lain dirayakan, sementara aku sekadar jadi penonton dari balik layar.
Aku yang Selalu Mundur Lebih Dulu
Kalau boleh jujur, aku memang sering menjauh sebelum orang lain sempat dekat. Entah kenapa, selalu ada rasa was-was: takut mereka kecewa padaku, takut ditinggalkan. Jadi daripada merasakan sakit hati itu, aku memilih mundur duluan.
Aku sering pura-pura sibuk ketika ada yang mengajakku nongkrong. Kadang aku sengaja tidak balas chat karena merasa percuma—pasti mereka hanya basa-basi. Aku juga sering membatalkan janji mendadak, seakan-akan tubuhku menolak untuk hadir di momen yang seharusnya menyenangkan.
Lucunya, setiap kali aku menjauh, aku malah semakin merasa kosong. Di malam hari, aku bisa menangis sendirian karena merasa tidak punya siapa pun. Esoknya, aku kembali berpura-pura biasa, seolah tidak ada apa-apa.
“Apa Aku yang Terlalu Sensitif?”
Pertanyaan itu sering berputar di kepalaku. Apa aku memang terlalu sensitif? Atau memang ada yang salah denganku?
Aku ingin punya teman, tapi aku takut kehilangan. Aku ingin dekat, tapi aku tidak tahan dengan kemungkinan disakiti. Jadilah aku memilih sendiri sejak awal. Aman memang, tapi sekaligus sepi.
Aku sempat membaca bahwa ada orang-orang yang sulit menjalin hubungan karena terlalu takut ditinggalkan. Mereka seringkali menunjukkan gejala seperti menghindar duluan, merasa kosong, dan sangat sensitif terhadap tanda penolakan. Katanya, pola seperti ini mirip dengan yang dialami orang dengan gangguan kepribadian borderline (BPD), meskipun tentu tidak bisa asal menempelkan label itu ke diri sendiri.
Riset juga menunjukkan bahwa orang dengan gejala mirip BPD cenderung merasakan kesepian lebih intens dibandingkan kebanyakan orang. Bahkan ketika mereka tidak sepenuhnya sendirian secara fisik, rasa sepi itu tetap menempel, seakan-akan ada jarak tak kasat mata antara mereka dengan dunia.
Media Sosial: Cermin yang Memperbesar Luka
Media sosial seharusnya jadi tempat terhubung. Tapi bagiku, seringkali jadi cermin yang kejam.
Saat aku membuka feed, aku melihat highlight hidup orang lain: pesta ulang tahun, liburan, teman yang saling peluk, caption manis yang dibanjiri komentar. Semua itu membuatku bertanya-tanya: kenapa aku tidak punya itu semua? Kenapa aku selalu jadi yang terpinggirkan?
Riset memang menunjukkan bahwa media sosial bisa memperkuat rasa kesepian, terutama ketika kita terjebak dalam perbandingan sosial. Melihat hidup orang lain yang tampak sempurna membuat kita menilai diri sendiri lebih rendah, bahkan ketika kenyataannya tidak seburuk itu.
Bagiku, sepi di media sosial terasa sama sakitnya dengan sepi di dunia nyata. Kadang bahkan lebih menyakitkan, karena seolah-olah dunia sedang bersenang-senang tanpa aku.
Aku Bukan Satu-satunya
Meski berat mengakuinya, ada sedikit rasa lega ketika tahu aku bukan satu-satunya yang merasa begini. Penelitian menunjukkan bahwa rasa kesepian bukan sekadar “kurang teman”, tapi juga masalah psikologis yang bisa memengaruhi kesehatan mental dan fisik. Kesepian yang intens bisa memperburuk cemas, depresi, bahkan membuat orang sulit percaya diri.
Mungkin itu sebabnya aku sering merasa lelah, meskipun seharian tidak melakukan apa-apa. Bukan tubuhku yang capek, tapi pikiranku.
Aku juga sempat membaca bahwa ada terapi yang bisa membantu orang-orang dengan pola perasaan seperti ini. Misalnya, Dialectical Behavior Therapy (DBT) yang katanya cukup efektif untuk mengelola emosi, mengurangi rasa panik akan ditinggalkan, dan membantu membangun hubungan yang lebih sehat.
Aku tidak tahu apakah aku benar-benar butuh itu, atau aku hanya terlalu banyak berpikir. Tapi mengetahui ada jalan keluar, sekecil apa pun, memberi sedikit napas lega.
Belajar Tinggal, Bukan Kabur
Untuk sekarang, aku masih sering mundur lebih dulu. Tapi aku mulai belajar: mungkin aku tidak harus lari setiap kali merasa takut.
Aku mulai coba bicara jujur pada satu-dua orang terdekat: “Maaf kalau aku jarang datang. Aku takut dikecewakan.” Tidak semua orang mengerti, tapi ada yang mau mendengarkan. Dan itu cukup.
Aku masih belum tahu kenapa aku begini. Tapi aku tahu satu hal: kesepian tidak akan hilang kalau aku terus bersembunyi. Mungkin aku tidak akan punya lingkaran pertemanan sebesar teman-temanku di media sosial. Tapi jika ada satu orang saja yang benar-benar mau tinggal, bukankah itu sudah lebih dari cukup?
Dan mungkin, untuk pertama kalinya, aku ingin belajar untuk tidak mundur lebih dulu.
Rangkuman Riset (untuk pembaca yang ingin tahu lebih dalam)
-
Kesepian dan sensitivitas penolakan sering dialami orang dengan gejala mirip BPD, meskipun tidak semua orang yang merasa demikian otomatis memiliki diagnosis itu.
-
Kesepian bersifat subjektif—orang bisa merasa sangat sendiri meski tidak benar-benar sendirian.
-
Media sosial memperparah perbandingan sosial dan dapat meningkatkan perasaan kesepian serta rendah diri.
-
Intervensi psikologis seperti DBT terbukti efektif membantu mengelola emosi dan membangun keterampilan relasi sosial yang lebih sehat.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Postingan Populer
Surat Doa: Ya Allah, Jangan Biarkan Aku Hilang Arah
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar