Langsung ke konten utama

Unggulan

Surat Doa: Ya Allah, Jangan Biarkan Aku Hilang Arah

 Ya Allah… Di hari-hari yang terasa hampa ini, aku datang kepada-Mu dengan hati yang gemetar. Aku tidak tahu harus berbuat apa, tidak tahu harus mulai dari mana. Aku merasa kosong, kehilangan semangat, kehilangan arah — dan di antara semua kehilangan itu, aku paling takut kehilangan diri dan kepercayaanku pada-Mu. Ya Allah, aku tahu Engkau Maha Melihat. Engkau tahu betapa lemahnya aku sekarang, betapa sulitnya aku untuk bangun, untuk berpikir jernih, untuk melangkah lagi. Terkadang aku merasa seperti beban bagi dunia, seperti tidak ada yang membutuhkan kehadiranku. Tapi jauh di lubuk hatiku, aku tahu — Engkau tidak pernah menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Dan itu termasuk aku. Maka Ya Rabb, tolonglah aku yang sedang kehilangan cahaya ini. Bimbing aku untuk kembali mengenal-Mu dengan lembut, agar hatiku tenang dan pikiranku kuat kembali. Jangan biarkan rasa takutku membuatku berhenti berjuang. Jangan biarkan rasa malas menutupi niat baik yang masih ada di hatiku. ...

Tentang Kamu Lelaki Filosofisku


Rasa cinta

Kalau dipandang dari sudut sains, rasa ini bisa dibilang tak lebih dari respon yang dikirimkan sinyal-sinyal saraf ke otak setelah melalui kerumitan sambungan sinaps. Kadang muncul karena suatu rangsangan dari luar, kadang karena distimulasinya senyawa kimia atau neurotransmitter yang entah kenapa bisa membuat kita larut dalam kegalauan, atau justru tenggelam dalam kebahagiaan secerah matahari pagi.

Tapi, jujur saja, siapa sih yang benar-benar peduli dengan detail reaksi rumit itu? Persetan dengan rumusnya. Meski, harus kuakui, memahaminya tetap penting—setidaknya supaya ada logika yang menjaga kita tetap waras di tengah kasmaran yang sering kali bikin kepala jungkir balik.

Apalagi, tuan Hipotalamus dan nyonya Amigdala selalu saja punya agenda. Mereka sibuk merangkai memori dan emosi menjadi puzzle kenangan yang utuh. Dan anehnya, hujan sering kali jadi pemicunya, tiba-tiba saja sebuah film dokumenter gratis diputar di kepala, membuat senyum merekah tanpa bisa dicegah.

Sayangnya, nyonya Amigdala tidak selalu menyisipkan tawa. Ia juga rajin menitipkan kecewa.

Jadilah ini ceritaku. Cerita absurd tanpa judul, tanpa tema, hanya sekadar catatan dari gelisah yang tak kunjung selesai. Sebuah kebingungan yang menunggu validasi, entah dari siapa.

Mungkin memang cinta hanyalah hasil kerja sistem limbik, sekadar reaksi yang bisa dipetakan dengan grafik dan angka. Tapi mengapa, di luar semua definisi itu, rasanya tetap tidak bisa sepenuhnya kupahami? Kalau benar hanya urusan sinaps, kenapa bayanganmu masih saja membandel, hadir di sela-sela hujan, di antara detak jantung yang tak mau tenang?

Dan kalau semua ini hanya kimia, bisakah aku menawar dosisnya? Atau, jangan-jangan, cinta memang sengaja diciptakan agar manusia selalu berada di ambang: antara waras dan gila, antara logika dan luka, antara ingin melupakan tapi diam-diam berdoa agar tak pernah benar-benar hilang...

Entah bagaimana caranya, tapi justru dia—lelaki dingin dengan prinsip seteguh baja itu—yang berhasil menjadi jangkar di kepalaku. Padahal hipotalamus mestinya sudah lama berhenti memproduksi adrenalin yang membuat jantung berdegup hanya karena sebuah tatapan. Tapi nyatanya, setiap kali memori SMA itu diputar, aku masih saja merasa seperti remaja yang baru pertama kali mengenal arti rindu.

Ironisnya, ia sudah menolak dengan tegas. Berkali-kali. Seharusnya, secara logika biologis, penolakan itu memberi sinyal negatif yang cukup kuat untuk menutup jalur sinaps-sinaps pengharapan. Tapi otakku bandel. Seperti ada satu rangkaian kabel kusut yang dengan keras kepala memilih menyimpan gambarnya di ruang paling dalam.

Dia—sahabatku, lelaki filosofis yang seakan imun terhadap rayuan centil, yang tak mudah goyah oleh godaan para hawa. Lelaki yang kepalanya penuh paradoks, relativitas Einstein, diskusi tentang makna hidup, sampai debat kecil tentang mana yang lebih unggul: dunia magis Harry Potter atau fantasi epik dalam novel-novel lain.

Lucunya, meski dia begitu dingin, dia tetap mau bersahabat denganku. Duduk tepat di depan bangkuku, setiap hari jadi semacam laboratorium kecil di mana dua kepala muda bereksperimen dengan ide, teori, dan impian. Ia bahkan membuat sebuah grup diskusi kecil—hanya berisi aku, dia, dan keempat teman kami (perempuan di grup itu hanya aku dan teman sebangku ku. Ya, itu cukup membuatku geer). Dan harus digaris bawahi "Dia— si pria dingin itu— yang membuat grupnya, bukan salah satu dari kita", salah satu pencapaian yang membanggakan, bukan? Grup yang seakan-akan jadi ruang rahasia, tempat kami menukar pikiran, tawa, dan kadang… perasaan yang tak pernah bisa benar-benar kuucapkan.

Dan sejak saat itu, entah apa nama sindromnya, aku seakan menjadi tawanan memori. Rindu yang tak pernah sembuh. Lima tahun lebih, penolakan tetap membekas, tapi hatiku tetap bersikeras menjadikannya tuan.

Komentar

Postingan Populer