Cari Blog Ini
Catatan seorang pejalan yang belajar memasrahkan segala cerita hidup pada Sang Pemilik Waktu. Tentang hujan, rindu, kegagalan, dan syukur yang berujung pada ketenangan
Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
My Diary: Tentangmu part 3
Ada satu hal lain yang semakin membuat hubunganku dengannya terasa berbeda dari hubungan yang pernah kualami dengan siapapun—bahkan sampai hari ini.
Saat itu aku sedang jatuh cinta pada pemikiran para filsuf Islam, pada jejak-jejak para sufi yang berjalan mencari Tuhan di dalam dirinya sendiri. Nama-nama seperti Al-Ghazali, Ibnu Arabi, Rumi, Hafez… menjadi teman dudukku ketika malam terasa terlalu panjang. Aku terpesona pada ajaran-ajaran tentang kesunyian batin, tentang makna hidup, tentang hakikat manusia yang selalu mencari pulang.
Dan dari semua orang yang pernah kutemui… hanya dia yang bisa mengerti.
Hanya dengannya aku bisa berbicara tentang kebahagiaan yang bukan berasal dari dunia, tentang kedekatan dengan Tuhan yang tidak bisa dijelaskan dengan bahasa manusia. Tentang bagaimana hidup itu bukan soal memiliki, tapi soal menjadi. Bagaimana manusia sering membuat dirinya sendiri terpenjara oleh keinginan, sementara kebebasan justru terletak pada kemampuan untuk melepaskan.
Aku ingat bagaimana mata Sena akan berubah ketika kami mulai masuk ke percakapan seperti itu. Tidak penuh emosi… tapi penuh kedalaman. Ada ketenangan yang ia bawa, seolah ia sudah sangat akrab dengan sunyi jauh sebelum aku mengenal sunyi itu sendiri. Ada jeda-jeda dalam kata-katanya yang membuatku ingin mendengarkan, bukan sekadar memahami.
Dan aku—
aku merasa dilihat.
Bukan tubuhku.
Bukan wajahku.
Bukan penampilan atau bagaimana aku tampil di dunia.
Tapi jiwaku.
Aku merasa seperti yang ia dengarkan adalah sesuatu yang jauh lebih dalam daripada kata-kata yang keluar dari mulutku.
Kami berbicara tentang makna hidup.
Tentang kenapa manusia merasa kosong meski dikelilingi banyak hal.
Tentang bagaimana kebahagiaan itu bukan sesuatu yang ditemukan, tapi sesuatu yang dilahirkan dari dalam diri.
Tentang bagaimana mungkin… setiap orang adalah perjalanan yang panjang menuju dirinya sendiri.
Tidak ada kalimat-kalimat puitis yang ia lontarkan di setiap penjelasannya, tidak ada petuah panjang yang terdengar seperti guru atau orang bijak. Tidak. Ia hanya mendengarkan, dan menjawab dengan tenang, dengan cara yang membuatku merasa seperti pertanyaanku tidak konyol.
Kadang ia hanya mengangguk pelan.
Kadang ia menjawab singkat.
Kadang ia menatap jauh sebelum menjawab, seolah kata-katanya lahir dari sesuatu yang di dalam, bukan dari lidah.
Aku tidak bisa mengingat kata-katanya secara tepat — bukan karena tidak penting, tapi karena yang tertinggal justru rasanya, bukan rangkaian kalimat.
Rasa… bahwa aku dimengerti.
Rasa… bahwa aku tidak sendirian dalam pencarian itu.
Rasa… bahwa ada seseorang, bahkan hanya satu, yang melihat kehidupan bukan hanya sebagai rutinitas atau perlombaan, tetapi sebagai perjalanan batin.
Mungkin itu sebabnya kehadirannya begitu melekat di dalam ingatanku.
Karena dia bukan hanya seseorang yang kusuka.
Dia adalah seseorang yang pernah menjadi rumah bagi pikiranku.
Ia tidak mengajarkanku dengan kata-kata.
Ia mengajarkanku dengan keberadaannya.
Tempat aku merasa tidak aneh.
Tidak berlebihan.
Tidak terlalu dalam.
Tidak “terlalu” apa pun.
Seseorang yang membuatku merasa bahwa hatiku yang peka,
pikiranku yang penuh pertanyaan,
dan jiwaku yang sering lelah…
bukanlah beban.
Untuk pertama kalinya, aku merasa dipahami.
Namun mungkin hidup memiliki jalannya sendiri.
Mungkin ada takdir yang hanya dimaksudkan untuk singgah, bukan menetap.
Mungkin dia datang bukan untuk tinggal di hidupku…
melainkan untuk membentukku.
Dan sekarang aku mengerti:
Sena bukan takdirku.
Dia adalah guru yang Tuhan kirim dengan cara yang paling lembut.
Untuk mengajariku bahwa cinta tidak selalu harus memiliki.
Bahwa perasaan tidak harus diikat.
Bahwa beberapa kenangan memang diciptakan untuk menetap, tapi tidak untuk kembali.
Dia adalah bagian dari perjalanan jiwaku.
Dan meskipun aku bangun sendirian,
meskipun dunia kini sunyi tanpa dirinya,
aku tetap membawa satu hal yang pernah ia ajarkan secara tidak langsung:
Bahwa kebahagiaan sejati ada dalam diriku sendiri.
Dan entah bagaimana…
meski rasanya sakit,
rasanya juga indah.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Postingan Populer
Surat Doa: Ya Allah, Jangan Biarkan Aku Hilang Arah
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar