Langsung ke konten utama

Unggulan

Ketika Otak Terasa Menurun: Stuck, Bosan, dan Terjebak Dalam Lingkaran Overthinking

Pernah merasa stuck , bosan, dan seolah kemampuan otak mulai menurun? Aku pernah. Bahkan sekarang, aku masih mengalaminya. Beberapa waktu lalu, atasan—yang sebenarnya cukup baik, perhatian, dan sering memberiku ruang untuk berkembang—memintaku menyiapkan presentasi training untuk salah satu fitur pengembangan dari sistem yang sudah ada. Kalau didengar sekilas, itu tugas yang ringan. Banyak orang mungkin akan menganggapnya kesempatan emas untuk belajar hal baru atau menunjukkan kemampuan diri. Tapi untuk seseorang sepertiku, yang cenderung introvert, butuh struktur jelas, dan mudah kewalahan oleh ketidakpastian, tugas itu justru berubah menjadi beban mental yang cukup berat. Bukan karena presentasinya sulit, bukan karena materinya rumit, tapi karena aku tidak punya pegangan yang jelas . Masalahnya bukan pada tugasnya. Masalahnya pada reaksiku —dan aku baru menyadarinya belakangan. Ketika tugas itu diberikan, bukannya aku langsung merancang langkah-langkah yang harus dilakukan atau...

My Diary: Tentangmu Part 4

 

Dan sekarang, semakin aku menulis, semakin banyak kenangan yang muncul. Seolah pintu yang selama ini terkunci rapat, tiba-tiba terbuka perlahan, dan semua yang pernah kusimpan rapi berjatuhan satu per satu.

Aku ingat—dulu dia pernah merekomendasikan sebuah buku kepadaku: Seni Bersikap Bodo Amat.
Waktu itu aku hanya membacanya setengah, mungkin hanya sekedar mengikuti saran seseorang yang aku kagumi. Aku belum mengerti intinya, aku belum paham kedalaman maknanya. SMA terlalu muda untuk memahami bahwa hidup itu luas, dan luka datang dengan caranya masing-masing.

Tapi anehnya, sekarang—di usiaku yang dipenuhi keputusasaan dan kegelisahan yang sulit dijelaskan—buku itu kembali menyelamatkanku. Seolah Tuhan menyimpan pesan itu untuk saat yang tepat. Seolah apa yang Sena berikan dulu… bukan untuk dimengerti saat itu, tapi untuk saat aku paling membutuhkan.

Dan aku tidak ingin menyebutnya malaikat.
Tidak juga ingin menaruhnya pada pedestal yang terlalu tinggi.
Aku tahu, dia tidak sempurna. Ada banyak hal menyebalkan darinya. Kadang dia terlalu dingin, terlalu memisahkan dirinya, terlalu tenang sampai aku tidak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. Kadang ia seperti tembok yang begitu sulit ditembus.

Tapi lucunya, saat ini… aku hanya mengingat bagian-bagian yang membuatku tersenyum.

Seolah ingatan memiliki caranya sendiri untuk memilih keindahan,
meski dulu ada luka,
ada penolakan,
ada ruang yang tidak pernah berhasil aku isi.

Dan aku ingat satu lagi.

Suatu hari, aku melihatnya duduk sendirian di pojok kelas. Kepalanya tertunduk. Aku kira dia sedang tidur. Tapi ketika aku mendekat, aku melihat buku yang terbuka di pangkuannya:

La Tahzan — Innallaha Ma’ana.
"Jangan bersedih — Allah bersama kita."

Saat itu aku bahkan tidak benar-benar memahami kalimat sederhana itu. Aku hanya tahu buku itu terasa “berat”, dan aku merasa kagum melihatnya membaca sesuatu yang begitu sunyi, begitu dalam. Aku meminjam buku itu darinya. Dia mengizinkannya, tanpa banyak bicara, tanpa tatapan yang berlebihan.

Aku meminjamnya tiga hari. Dan aku… tidak pernah benar-benar membacanya. Bukan karena aku tidak mau. Tapi karena aku belum siap. Aku belum cukup dewasa untuk memahami beban kata-kata yang ada di dalamnya.

Tapi sekarang… di usia yang telah digores waktu, kalimat itu terasa seperti pelukan:

Innallaha ma’ana.
Allah bersama kita.
Bersamaku.
Bersamanya.
Saat itu.
Dan sekarang.

Kalau dipikir-pikir… tidak ada yang kebetulan.

Dia bukan hanya seseorang yang membuatku tersenyum.
Dia bukan hanya seseorang yang membuatku menunggu hari esok.
Dia bukan hanya seseorang yang membuatku ingin menjadi lebih baik.

Dia adalah seseorang yang menghubungkanku kembali kepada diriku sendiri.
Dan kepada Tuhan.

Tanpa ia sadari.
Tanpa ia maksudkan.
Tanpa ia tahu.

Bersamanya aku merasakan sesuatu yang hampir tidak pernah aku rasakan lagi dalam hubungan dengan siapapun setelahnya:

Ketenangan.

Bukan cinta yang meledak-ledak.
Bukan romansa yang memabukkan.
Bukan rasa ingin memiliki.

Tapi ketenangan yang sunyi.
Yang lembut.
Yang muncul ketika kita menemukan seseorang yang bisa memahami bahasa batin kita, tanpa harus berusaha menjelaskannya.

Dia adalah satu-satunya orang yang membuatku puas dengan setiap jawaban dari setiap pertanyaanku.
Satu-satunya yang mampu menyentuh lapisan terdalam dari diriku… tanpa pernah menyentuhku sama sekali.

Dan mungkin itu sebabnya… kenangan tentangnya begitu sulit hilang.

Karena cinta yang paling dalam bukan yang paling keras.
Bukan yang paling ramai.
Bukan yang paling manis.

Tapi yang paling diam.

Yang meninggalkan jejak seperti embun.

Yang tidak terasa saat itu…
Tapi menghidupi kita bertahun-tahun kemudian.

Komentar

Postingan Populer