Cari Blog Ini
Catatan seorang pejalan yang belajar memasrahkan segala cerita hidup pada Sang Pemilik Waktu. Tentang hujan, rindu, kegagalan, dan syukur yang berujung pada ketenangan
Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
My Diary: Tentangmu Part 5
Dan kalau aku menoleh lebih jauh ke belakang, aku rasa—dia adalah salah satu alasan mengapa aku jatuh cinta pada dunia menulis. Pada dunia fantasi. Pada dunia imajinasi yang terasa lebih aman dibanding dunia nyata. Aku sudah menyukai buku sejak kelas lima SD… tapi bersamanya, aku merasa seperti menemukan seseorang yang berjalan dengan ritme yang sama.
Dia pernah bilang, dengan nada santai tanpa ekspresi yang berlebihan:
“Kerjaan paling cocok buat orang introvert itu menulis.”
Waktu itu aku belum terlalu mengerti maksudnya. Tapi sekarang aku paham. Menulis adalah tempat dimana isi kepala bisa diletakkan dengan tenang. Dimana dunia bisa dibangun ulang sesuai kebutuhan hati. Dimana setiap luka bisa dirawat tanpa harus menjelaskannya kepada siapapun.
Dulu aku pernah meminjamkannya buku Dear Allah. Aku bahkan masih ingat sampulnya. Aku tidak tahu apakah dia menyukainya, karena aku tidak pernah menanyakan. Dan dia juga tidak pernah bilang apa-apa. Mungkin dia menganggapnya alay. Mungkin dia hanya membacanya sekedar lewat. Dan ya—dia memang menyebalkan. Tidak, bukan agak. Sangat.
Sampai hari ini aku masih ingat dia pernah bilang:
“Kamu baku ketek.”
Dan aku ingat aku marah luar biasa. Menyebalkan sekali manusia itu. Menyebalkan, menyebalkan, menyebalkan.
Tapi entah kenapa… tetap saja kenangan tentangnya terasa manis.
Sial sekali, ya?
Lalu dia pernah merekomendasikan Hujan karya Tere Liye. Dan dari situlah semuanya mulai. Aku tenggelam, perlahan, ke dalam dunia Tere Liye—ke pelukan serial Bumi, ke petualangan yang terasa dekat dengan jiwaku. Dan sampai hari ini, itu masih menjadi favoritku.
Aku rasa… tanpa aku sadari, bertemu dengannya adalah seperti menemukan seseorang yang sudah lama aku tunggu.
Seseorang yang punya minat yang sama.
Seseorang yang membaca kata-kata dengan cara yang mirip isi kepalaku.
Seseorang yang ketika berbicara, aku merasa tidak perlu berpura-pura.
Aku menyukai caranya berpikir.
Aku menyukai bagaimana ia menghubungkan hal-hal.
Bagaimana ia melihat dunia.
Bagaimana ia memberi jarak pada orang-orang.
Bagaimana ia justru menunjukkan kepedulian dalam bentuk yang sama sekali tidak terlihat seperti kepedulian.
Dan aku masih bisa melihat bayangannya dengan jelas:
Jam pelajaran selesai.
Kursi-kursi digeser.
Suara kelas mulai riuh.
Tapi di antara semua itu—
dia memutar tubuhnya,
membalikkan punggungnya,
mencondongkan sedikit bahunya ke arahku,
dan kita mulai berbicara.
Tentang apa saja.
Tentang hal-hal yang bahkan mungkin tidak terlalu penting.
Tapi terasa berarti.
Dan sekarang aku bertanya-tanya…
Apakah saat-saat itu benar-benar seindah itu?
Atau aku hanya memperbesarnya karena sepi yang tinggal sekarang terlalu sunyi, terlalu kosong, terlalu penuh ruang yang ingin diisi?
Aku tidak tahu.
Yang aku tahu adalah:
Aku pernah merasa hidup di sana.
Dalam percakapan itu.
Dalam tawa yang pelan.
Dalam jeda yang kecil.
Dalam cara ia bicara dengan tenang,
seolah dunia tidak perlu terburu-buru.
Mungkin saat itu aku tidak sedang jatuh cinta pada dirinya.
Mungkin aku sedang jatuh cinta pada diriku sendiri…
yang bisa menjadi begitu hidup saat berada di dekatnya.
Dan bukankah itu… sesuatu yang sangat lembut?
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Postingan Populer
Surat Doa: Ya Allah, Jangan Biarkan Aku Hilang Arah
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar