Cari Blog Ini
Catatan seorang pejalan yang belajar memasrahkan segala cerita hidup pada Sang Pemilik Waktu. Tentang hujan, rindu, kegagalan, dan syukur yang berujung pada ketenangan
Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
My Diary: Tentangmu Part 6
Namun tidak semua kenangan tetap hangat selamanya.
Di akhir-akhir kebersamaan kami, ada perubahan yang samar, tapi terasa menyakitkan.
Seperti udara yang tiba-tiba menjadi lebih dingin, tanpa ada yang benar-benar berkata apa pun.
Aku merasa, entah bagaimana, ia mulai menjauh dariku.
Mungkin ia kelelahan.
Mungkin aku terlalu berisik, terlalu bersemangat, terlalu ingin dekat.
Aku tidak tahu kenapa aku bertingkah seperti itu.
Aku hanya tidak ingin ia pergi.
Aku ingin terlihat berkesan di hadapannya, tapi justru sikapku itu—yang semrawut dan tak terkendali—yang perlahan mendorongnya semakin menjauh.
Aku seperti mencoba mendobrak pagar yang selama ini ia bangun untuk melindungi dirinya.
Dan kini aku mengerti…
pagar itu bukan untuk mengurung siapa pun.
Pagar itu adalah tempat ia bisa merasa aman.
Dan aku, yang waktu itu tidak mengerti, masuk dengan cara yang tidak hati-hati.
Setelah kelulusan, kami berpisah.
Kontak terputus.
Ia seolah hilang dari dunia.
Tidak ada kabar. Tidak ada jejak.
Seakan semua yang pernah terjadi hanyalah musim yang sudah selesai.
Sampai suatu hari, bertahun kemudian, saat aku sudah menjadi mahasiswa Biologi dan hidupku berjalan dengan ritme yang baru, Mariam datang membawa kabar.
“Sena ikut bukber alumni OSIS,” katanya.
Aku melihat videonya—hanya sepersekian detik, hanya sekelebat wajah—
tapi cukup untuk membuat seluruh kenangan kembali berputar.
Seperti film yang tidak pernah benar-benar selesai.
Lalu Sandi memasukkan nomornya kembali ke grup Mission Secret.
Aku terkejut, senang, gugup, bingung.
Aku tidak tahu apakah itu keinginannya, atau permintaan orang lain.
Yang aku tahu hanyalah, ia kembali hadir, tapi dengan jarak yang lebih jauh dari sebelumnya.
Ia tetap dingin.
Tenang.
Tak tersentuh.
Namun aku—dengan kebodohan yang hangat dan polos—kembali menghubunginya.
Dengan gaya yang sama seperti dulu:
terlalu akrab, terlalu heboh, terlalu ingin dekat.
Aku lupa bahwa waktu telah berubah.
Aku lupa bahwa pagar itu masih ada.
Pesanku dibalas singkat, datar, hampir tanpa nada.
Dan di saat yang sama, aku mendengar kabar bahwa ia diterima di UGM—salah satu kampus terbaik, tempat orang-orang cemerlang berkumpul.
Saat itu aku tersenyum.
Bukan karena senang… tapi karena sadar diri.
Kami sudah berjalan di jalan yang berbeda, arah yang berbeda, dunia yang semakin melebar jaraknya.
Sejak itu, aku berhenti menghubunginya.
Bukan karena aku berhenti peduli.
Tapi karena aku mulai belajar untuk melepaskan.
Meski begitu, sampai sekarang, terkadang aku masih berharap:
Jika suatu hari aku bertemu dengannya di jalan—walaupun hanya sekilas, walaupun hanya papasan—aku ingin melihat apakah matanya masih sama.
Bukan untuk memiliki.
Bukan untuk kembali.
Hanya untuk mengucapkan dalam hati:
“Terima kasih… karena pernah menjadi rumah, meski hanya sebentar.”
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Postingan Populer
Surat Doa: Ya Allah, Jangan Biarkan Aku Hilang Arah
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar