Cari Blog Ini
Catatan seorang pejalan yang belajar memasrahkan segala cerita hidup pada Sang Pemilik Waktu. Tentang hujan, rindu, kegagalan, dan syukur yang berujung pada ketenangan
Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
My Diary: Tentangmu Part 7
Tapi semua itu tidak berhenti begitu saja.
Aku tidak benar-benar berhenti memikirkannya.
Aku masih sering mencari namanya, entah di Instagram atau hanya dalam ingatan yang tidak pernah selesai.
Bertahun-tahun setelah kami berpisah, sesekali aku masih membuka profilnya.
Diam-diam.
Pelan-pelan.
Seperti seseorang yang tidak tahu harus berhenti di mana.
Aku masih ingin tahu keadaannya.
Masih ingin memastikan ia baik-baik saja.
Masih ingin melihat apakah dunia juga memperhatikannya seperti aku dulu.
Dan, entah takdir atau kebetulan yang iseng, suatu hari aku melihat ia mengunggah sebuah story.
Ia memegang sebuah buku.
Secret Divine Love — buku yang persis sedang kubaca waktu itu.
Aku langsung merasa seolah Tuhan sedang mengedipkan mata.
Seakan berkata, “Lihat, ada garis tipis yang masih menghubungkan kalian. Meski samar.”
Tanpa berpikir panjang, aku membalas story itu.
“Aku juga baca buku itu,” tulisku.
Tidak ada jeda. Tidak ada ragu.
Ia membalas.
“Iya, Nis.”
Hanya dua kata.
Pendek.
Datar.
Tapi aku yang waktu itu terlalu ingin tetap terhubung, tidak ingin percakapan itu selesai di sana.
Aku membalas lagi, mencoba membangun jembatan baru dengan batu yang kecil dan rapuh.
“Eh, kamu ada buku Filosofi Teras?”
Aku bahkan tidak tahu apa maksudnya.
Entah mengajak bicara atau hanya berharap ia akan menyambut percakapan itu.
Dan ia menjawab—
“Ga ada. Aku nggak jualan buku.”
Aku tertawa kecil waktu itu.
Tawa yang getir.
Tawa orang yang berusaha menutupi rasa malu sendiri.
Percakapan itu benar-benar absurd.
Bahkan sekarang ketika aku mengingatnya, aku ingin menutupi wajahku dengan kedua tangan.
Tapi aku terus berusaha.
Seperti orang yang tidak tahu kapan harus berhenti.
Aku mengirim video-video acak, meme yang tidak penting, hal-hal yang bahkan tidak ia buka.
Aku malu sekarang.
Sungguh malu.
Aku bahkan sampai menandainya dalam story jualan kerudungku.
Seolah-olah dengan cara itu ia akan memperhatikan aku kembali.
Dan yang paling menyakitkan—yang paling membuatku ingin menangis untuk diri kecilku saat itu—
adalah ketika aku akhirnya mengumpulkan seluruh keberanian dan mengutarakan perasaanku.
“Aku suka kamu.”
Kalimat yang sederhana, tapi terasa seperti mengeluarkan seluruh isi dadaku yang sudah sesak bertahun-tahun.
Dan ia menolakku.
Pelan.
Halus.
Tanpa melukai, tapi tetap membuatku patah.
Ia berkata kurang lebih begini—
“Nis, tidak apa-apa. Kamu sudah hebat sudah berani jujur. Pasrahkan perasaanmu pada Allah. Buka hatimu untuk orang lain, ya.”
Dan aku terdiam.
Bukan karena marah.
Bukan karena malu.
Tapi karena aku sadar…
aku telah mencintainya dengan cara yang tidak pernah benar-benar sampai.
Aku mencintai kenangannya.
Cara ia membuat dunia terasa lebih ringan.
Cara ia menjawab pertanyaan-pertanyaan hidupku yang berat.
Cara ia hadir bukan sebagai cinta yang menggebu…
tapi sebagai ketenangan.
Dan mungkin…
memang sebagian cinta tidak ditakdirkan untuk dimiliki.
Beberapa hanya datang untuk mengajarkan kita sesuatu.
Lalu pergi dengan pelan, tanpa menutup pintu.
Hanya membiarkannya sedikit terbuka…
cukup untuk dikenang.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Postingan Populer
Surat Doa: Ya Allah, Jangan Biarkan Aku Hilang Arah
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar