Langsung ke konten utama

Unggulan

Ketika Otak Terasa Menurun: Stuck, Bosan, dan Terjebak Dalam Lingkaran Overthinking

Pernah merasa stuck , bosan, dan seolah kemampuan otak mulai menurun? Aku pernah. Bahkan sekarang, aku masih mengalaminya. Beberapa waktu lalu, atasan—yang sebenarnya cukup baik, perhatian, dan sering memberiku ruang untuk berkembang—memintaku menyiapkan presentasi training untuk salah satu fitur pengembangan dari sistem yang sudah ada. Kalau didengar sekilas, itu tugas yang ringan. Banyak orang mungkin akan menganggapnya kesempatan emas untuk belajar hal baru atau menunjukkan kemampuan diri. Tapi untuk seseorang sepertiku, yang cenderung introvert, butuh struktur jelas, dan mudah kewalahan oleh ketidakpastian, tugas itu justru berubah menjadi beban mental yang cukup berat. Bukan karena presentasinya sulit, bukan karena materinya rumit, tapi karena aku tidak punya pegangan yang jelas . Masalahnya bukan pada tugasnya. Masalahnya pada reaksiku —dan aku baru menyadarinya belakangan. Ketika tugas itu diberikan, bukannya aku langsung merancang langkah-langkah yang harus dilakukan atau...

My Diary: Tentangmu Part 8

 

Dan semalam…
setelah bertahun-tahun semua itu berlalu, ia datang lagi dalam mimpiku.

Tidak sebagai seseorang yang ingin kembali,
bukan sebagai cinta yang menuntut jawaban,
bukan pula sebagai masa lalu yang merengek untuk dihidupkan ulang.

Ia hanya hadir.
Dengan senyum yang dulu kukenal.
Dengan ketenangan yang pernah mengisi celah-celah diriku yang rapuh.

Di dalam mimpi itu, aku berbicara padanya.
Aku membuka semua luka yang selama ini kusembunyikan.
Tentang patah hati yang datang kemudian,
tentang ditinggalkan,
tentang runtuhnya keyakinan pada cinta,
tentang rasa lelah menjadi kuat sepanjang waktu.

Dan ia mendengarkan.
Tanpa menghakimi, tanpa menggurui, tanpa menjauh.

Ia hanya menjadi dirinya yang dulu:
tenang, sedikit jauh, tapi hangat dalam diamnya.

Untuk sesaat, aku merasa terlindungi.
Untuk sesaat, dunia rasanya tidak menakutkan.

Tapi mimpi selalu punya akhir, kan?

Aku terbangun.
Udara subuh begitu sunyi.
Dan kenyataan merayap masuk, seperti dingin yang lambat-lambat menembus kulit:

Aku sendirian.
Seperti biasa.
Seperti sebelumnya.

Dan anehnya — aku tidak marah, tidak sedih seperti dulu.
Hanya hening.

Hening yang akhirnya bisa kuterima.

Aku tahu, ia pernah menolak perasaanku.
Aku tahu, ia memilih jalannya sendiri, melanjutkan hidupnya, dan aku juga begitu.
Tidak ada yang perlu disalahkan.

Kini aku mengerti:
Tidak semua orang yang mampir dalam hidup adalah untuk tinggal.
Beberapa hanya datang untuk menunjukkan versi terbaik dari dirimu yang bahkan belum kamu kenali.
Beberapa datang sebagai jembatan — bukan untuk disebrangi menuju mereka —
tetapi menuju dirimu sendiri.

Sena adalah musim yang indah.
Ia datang membawa cahaya yang halus dan tenang.
Dan ketika musim itu berlalu, aku belajar untuk berdiri sendiri.

Kini, aku tidak lagi ingin mengulang cerita itu.
Tidak ingin memaksanya kembali.
Tidak ingin memintanya memperhatikan.

Tapi aku juga tidak akan memaksakan diri untuk melupakan.

Aku akan menyimpannya di tempat yang lembut,
di sudut hati yang tidak menyakitkan,
di ruang yang hanya berfungsi sebagai pengingat bahwa
aku pernah merasakan sesuatu yang begitu murni — sebelum dunia mengajarkan kata kehilangan.

Dan jika suatu hari, aku bertemu seseorang lain…
Aku ingin mencintai dengan cara yang lebih tenang,
lebih dewasa,
lebih menerima,
dan tidak lagi penuh ketakutan untuk ditinggalkan.

Terima kasih, Sena.
Untuk hadir.
Untuk pergi.
Untuk mengajariku mencintai tanpa harus memiliki.

Dan terima kasih juga kepada diriku sendiri —
yang akhirnya mau melepaskan.

Bukan karena lupa,
tapi karena sekarang aku tahu:

Kenangan tidak harus hilang untuk tidak lagi menyakitkan.

Komentar

Postingan Populer