Langsung ke konten utama

Unggulan

Ketika Otak Terasa Menurun: Stuck, Bosan, dan Terjebak Dalam Lingkaran Overthinking

Pernah merasa stuck , bosan, dan seolah kemampuan otak mulai menurun? Aku pernah. Bahkan sekarang, aku masih mengalaminya. Beberapa waktu lalu, atasan—yang sebenarnya cukup baik, perhatian, dan sering memberiku ruang untuk berkembang—memintaku menyiapkan presentasi training untuk salah satu fitur pengembangan dari sistem yang sudah ada. Kalau didengar sekilas, itu tugas yang ringan. Banyak orang mungkin akan menganggapnya kesempatan emas untuk belajar hal baru atau menunjukkan kemampuan diri. Tapi untuk seseorang sepertiku, yang cenderung introvert, butuh struktur jelas, dan mudah kewalahan oleh ketidakpastian, tugas itu justru berubah menjadi beban mental yang cukup berat. Bukan karena presentasinya sulit, bukan karena materinya rumit, tapi karena aku tidak punya pegangan yang jelas . Masalahnya bukan pada tugasnya. Masalahnya pada reaksiku —dan aku baru menyadarinya belakangan. Ketika tugas itu diberikan, bukannya aku langsung merancang langkah-langkah yang harus dilakukan atau...

My Diary: Tentangmu part 1

Semalam aku bermimpi tentang seseorang yang pernah begitu berarti dalam hidupku. Seseorang yang namanya masih tersimpan rapi di lipatan terdalam kenanganku, meski waktu sudah berlari jauh sekali. Sena Septian Munajat. Entah kenapa, setiap kali aku mengingat namanya, dadaku terasa hangat, namun juga sesak pada saat yang bersamaan.

Dulu, di bangku SMA, hidupku mungkin berjalan biasa-biasa saja. Sekolah hanyalah rutinitas. Pagi datang, bel masuk berbunyi, aku duduk, mendengar, menunggu pulang. Tidak ada nuansa spesial di antaranya. Tapi semua berubah ketika aku bertemu dia. Seseorang yang duduk tepat di belakang bangkuku — dekat sekali, tapi terasa seperti dunia kecil yang hanya kami berdua yang mengerti.

Sena bukan hanya teman. Dia adalah keheningan yang menenangkan. Dia adalah obrolan-obrolan kecil yang tak pernah kutahu bisa membuatku merasa begitu hidup. Kami berbicara tentang hal-hal yang bahkan orang dewasa mungkin tak punya waktu untuk memikirkan: paradoks dunia, kepribadian manusia, minat, bakat, mimpi, hal-hal kompleks yang entah bagaimana terasa begitu sederhana saat dibahas bersamanya. Ada ketenangan dalam matanya. Ada kedalaman dalam caranya mendengarkan. Entah bagaimana, dia membuatku merasa diterima, dipahami, cukup… tanpa perlu menjadi siapa-siapa selain diriku sendiri.

Dari semua orang yang pernah hadir dalam hidupku, dia satu-satunya yang membuatku benar-benar merasa bahwa dunia ini bisa menjadi tempat yang indah. Bahwa esok hari patut untuk ditunggu. Dia adalah seseorang yang membuatku ingin menjadi versi terbaik dari diriku — bukan untuk mengesankannya, tapi karena aku ingin pantas berada di dunia yang juga indah seperti dirinya.

Sudah lima tahun berlalu. Bahkan mungkin lebih. Aku sudah tumbuh, berjalan, terluka, belajar, jatuh, bangkit. Namun kenangan tentangnya… tetap. Bukannya tidak pernah coba kulupakan — aku sudah berusaha. Tapi kenangan tidak bekerja seperti itu. Ia tidak paham logika, ia hanya tahu bagaimana caranya bertahan.

Dan semalam… dia datang lagi. Dalam mimpi yang begitu lembut, begitu nyata, sampai aku bisa merasakan hangatnya kehadirannya. Sena tersenyum padaku — senyum yang dulu selalu mampu mencairkan keresahan dalam diriku. Dalam mimpi itu, aku menceritakan segalanya. Tentang ketakutanku. Tentang luka-luka yang kubawa sejak romansa-romansa gagal yang pernah kulalui. Tentang rasa ditinggalkan. Tentang sakitnya berharap. Tentang perasaan tidak pernah benar-benar cukup untuk dipilih.

Aku bercerita semuanya, tanpa jeda, tanpa topeng. Dan dia mendengarkan. Sama seperti dulu. Dia tidak menghakimi, tidak menggurui. Dia hanya… ada. Menjadi pelindung dalam sunyi. Dan untuk sesaat, aku merasa utuh lagi. Untuk sesaat, aku merasa dicintai — mungkin bukan dalam arti romantis, tapi dalam arti keberadaan yang diterima sepenuhnya.

Tapi mimpi selalu punya batas. Aku terbangun. Napasku berat. Dadaku kosong. Sunyi begitu pekat. Kesadaran datang perlahan, seperti angin dingin menyibak tirai hangat: dia tidak ada. Tidak ada siapapun. Sena kini hanyalah nama yang tersimpan dalam album kenangan. Seseorang yang dulu pernah menolakku dengan tegas. Sama seperti orang-orang yang datang setelahnya. Sama seperti dia yang juga meninggalkanku, dengan caranya sendiri.

Aku menatap langit-langit kamar. Gelap. Hening. Dingin. Rasanya hampir ironis: seseorang yang dulu membuatku merasa dunia penuh warna, kini hanya menyisakan bayangannya saja. Aku ingin berkata bahwa aku baik-baik saja. Bahwa aku sudah melepas semuanya. Tapi aku tahu itu tidak benar.

Mungkin pada akhirnya, aku memang sendirian.

Dan mungkin… tidak apa-apa.

Karena meski semua itu hanya kenangan — meski Sena hanyalah fragmen masa lalu — aku tetap bersyukur pernah bertemu dengannya. Pernah merasakan bagaimana rasanya hidup dengan hati yang penuh. Pernah mencintai dunia dengan cara yang sederhana dan murni.

Sena, terima kasih. Karena dulu, kau pernah membuatku merasa bahwa hidup ini layak dijalani.

Walaupun hari ini aku harus menjalani semuanya sendiri.

 

 


Komentar

Postingan Populer